Cetak biru pendidikan di Indonesia mendesak dibuat. Dengan demikian, tujuan pendidikan lebih terarah dan tidak lagi bersifat umum, tetapi sesuai karakter pembangunan bangsa.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pekerjaan rumah besar menunggu untuk diselesaikan guna menjadikan mutu pendidikan lebih baik. Cetak biru pendidikan mendesak dibuat agar tujuan pendidikan terarah dan tidak bersifat umum, tetapi sesuai karakter pembangunan bangsa.
Hal itu mengemuka dalam forum diskusi terpumpun Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bertema ”Evaluasi Pendidikan 2019 dan Pandangan 2020”, di Jakarta, Jumat (27/12/2019). Kegiatan dipimpin Wakil Ketua PPP Reni Marlinawati dan diikuti sejumlah pemerhati dan praktisi pendidikan, mulai dari pendidikan anak usia dini hingga pendidikan tinggi.
Pembahasan tentang sektor vokasi dan kemerdekaan belajar mengemuka dalam diskusi ini mengingat penerapannya sporadis, apalagi terjadi ketimpangan persebaran guru dan mutu sekolah di akar rumput. ”Ketika guru memiliki otonomi untuk mengajar, kita harus memastikan guru memahami perbedaan itu adalah landasan kebangsaan,” kata Kepala Bidang Pendidikan Nahdlatul Ulama Circle (Perkumpulan Masyarakat Profesional NU) Ahmad Rizali.
Ketika guru memiliki otonomi untuk mengajar, kita harus memastikan guru memahami perbedaan itu adalah landasan kebangsaan.
Ia menjelaskan, guru belum sepenuhnya memahami konsensus pembentukan bangsa Indonesia sehingga dalam benak mereka Indonesia masih terbagi ke dalam sistem mayoritas berdasarkan agama dan suku bangsa. Akibatnya, praktik pendidikan yang diksriminatif jamak terjadi di sekolah.
Padahal, sekolah semestinya menjadi tempat siswa mempelajari perbedaan dan keragaman sebagai nilai tambah di masyarakat dan sumber inspirasi. Aspek keragaman ini juga hendaknya tecermin dalam materi pelajaran. Muatan-muatan lokal merupakan aset yang sangat bermanfaat dalam menciptakan pemelajaran yang menyentuh kehidupan nyata sehingga mengena pada logika siswa.
Kedalaman ilmu
Praktisi pendidikan Kamaluddin yang juga dosen tidak tetap pascasarjana Universitas Negeri Jakarta menjelaskan, di masa kini, pendidikan bersifat universal tak bisa lagi digunakan. Namun, sistem sekolah di Indonesia masih mengharuskan siswa mempelajari banyak mata pelajaran sehingga tidak ada kedalaman pada ilmu-ilmu khusus.
Sementara sistem evaluasi akhir selama ini dalam wujud ujian nasional (UN) hanya menguji beberapa mata pelajaran sehingga pelajaran yang lain seolah dianaktirikan karena dianggap tidak menentukan masa depan siswa untuk mendapatkan sekolah yang baik. Penggantian UN menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter walaupun langkah yang baik tetap harus dibarengi dengan kesadaran di lapangan mengenai ragam ilmu belajar dan sumbernya.
”Cetak biru ini yang menentukan jumlah sumber daya manusia yang ditargetkan menempuh pendidikan akademik, vokasi, dan kewirausahaan. Dengan demikian, strategi pendidikannya spesifik dengan penyiapan sarana dan prasarana yang khusus,” kata Kamaluddin.
Ia menekankan, indikator keberhasilan pendidikan harus dilihat dari hasil belajar, bukan jumlah siswa yang lulus sekolah. Hasil belajar merupakan kondisi ketika lulusan lembaga pendidikan bisa memakai ilmunya untuk melanjutkan pendidikan, bekerja, dan berkarya serta membuat perubahan positif di masyarakat. Indonesia dinilai terlalu menekankan pada statistik angka partisipasi murni tanpa memperhatikan konten dan konteks pemelajaran.
Inpres vokasi
Terkait revitalisasi vokasi, Ahmad menengarai, kebijakan di Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi terlalu sumir dalam membahas vokasi. Apalagi, selama ini yang dilihat sebagai pelaku pendidikan vokasi sebatas SMK dan politeknik.
Padahal, ada madrasah kejuruan dan juga balai-balai latihan kerja. ”Daripada mengubah undang-undang yang memerlukan proses politik panjang dan ruwet, bisa diatasi dengan membuat inpres (instruksi presiden) tentang vokasi. Di dalamnya mencakup semua kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah yang mengelola lembaga pendidikan vokasi sehingga tidak ada pihak yang merasa ditinggalkan,” tuturnya.
Hendaknya inpres itu turut mencakup kewajiban triple helix, kerja sama pemerintah, perguruan tinggi, dan industri, dalam pemenuhan personel pendidik vokasi. Sebab, lembaga pendidikan tenaga kependidikan tidak memiliki program studi keguruan untuk semua bidang yang dibutuhkan di vokasi.
Reni Marlinawati menambahkan, forum diskusi ini akan menjadi kegiatan rutin hingga bisa dibuat rumusan yang dapat diajukan kepada pemerintah. Secara bertahap, forum mengupayakan ada kebijakan mengenai pendidikan untuk semua, terlepas kondisi fisik, geografis, dan usia peserta didiknya.