Proses pemelajaran yang dua arah, interaktif antara guru dan siswa, menjadi kunci untuk meningkatkan mutu pemelajaran.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Proses pemelajaran yang dua arah, interaktif antara guru dan siswa, menjadi kunci untuk meningkatkan mutu pemelajaran.
JAKARTA, KOMPAS — Hasil tes Program Asesmen Siswa Internasional atau PISA 2018 menunjukkan Indonesia harus meninjau kembali proses pemelajaran yang terjadi di ruang-ruang kelas guna memastikan agar tidak lagi bersifat satu arah. Kemampuan mencari ilmu dari berbagai sumber, mengelola, dan memakainya sesuai kebutuhan adalah metode yang membekali kompetensi di masa kini dan esok.
Hasil tes Programme for International Student Assessment (PISA) diumumkan pada Selasa (3/12/2019) di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tes PISA diselenggarakan oleh Organisasi Kerjasama Ekonomi Dunia (OECD).
Indonesia menduduki peringkat ke-66 dari 79 negara karena meskipun akses pendidikan merata, mutu pemelajaran stagnan. Penyebabnya adalah guru-guru belum bisa memberi pemelajaran yang dibutuhkan siswa untuk mengembangkan diri dan berkontribusi kepada lingkungan, apalagi menjadi pemecah masalah yang nyata di sekitar mereka.
“Proses dialogis antara guru dan siswa jarang diterapkan karena walaupun jargon pendidikan dan kurikulum berubah menjadi personalisasi belajar atau pun tematik, cara mengajar riil masih berupa ceramah satu arah dari guru. Itu pun isinya hal-hal yang sudah ada di buku pelajaran,” kata anggota Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah Itje Chodidjah di Jakarta, Rabu 94/12/2019). Ia juga pelatih guru untuk metode pemelajaran interaktif yang fokus ke pengembangan guru dan siswa.
Penjelasan Itje sejalan dengan penemuan Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdikbud. Membaca kritis belum banyak dilakukan karena bahan bacaan mayoritas hanya dari buku teks. Akibatnya, satu dari tiga siswa usia 15 tahun di Indonesia tidak bisa membaca teks yang memiliki grafik, ilustrasi, dan peta. Mereka juga tak mampu mencari teks daring. Ketika membaca teks, siswa belum bisa menyadari makna tersirat karena pemahaman mereka sebatas kata-kata tersurat.
Membaca kritis belum banyak dilakukan karena bahan bacaan mayoritas hanya dari buku teks.
Personalisasi belajar
Itje mengungkapkan, kecemasan guru adalah penerapan personalisasi pemelajaran. Mereka umumnya mengira jumlah siswa yang relatif banyak di kelas membuat guru tidak bisa memerhatikan kebutuhan setiap siswa. Padahal, konsep personalisasi belajar bukan seperti itu, melainkan memastikan siswa menyadari bahwa materi pelajaran itu lekat dan berguna bagi dirinya.
Ia memberi contoh personalisasi pelajaran untuk siswa SD. Guru menanyakan transportasi beroda empat yang kerap dipakai siswa. Akan ada yang menjawab mobil pribadi, angkutan umum, dan ada yang menjawab tidak pernah menggunakan kendaraan beroda empat. Minta siswa menjelaskan alasan mereka memakai kendaraan tersebut. Biarkan mereka berdebat dan berdiskusi. Guru memandu agar perdebatan tidak keluar dari jalur dan memerhatikan etika menghargai pendapat lawan bicara.
“Walaupun topik satu kelas sama, setiap siswa merasa terkait dengan topik itu dengan cara masing-masing. Mereka bisa menyambungkan situasi pribadi dengan topik pelajaran sehingga terjadi analisa. Metode ini bisa diterapkan sejak anak berusia dini,” papar Itje. Selain itu, juga penting mengajak guru mengubah target capaian dari nilai ujian dan materi buku teks yang selesai dibahas menjadi perubahan pengetahuan serta sikap siswa.
Penting mengajak guru mengubah target capaian dari nilai ujian dan materi buku teks yang selesai dibahas menjadi perubahan pengetahuan serta sikap siswa.
Sementara itu, salah satu pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan Muhammad Nur Rizal memecah personalisasi belajar menjadi teknis-teknis yang mudah diterapkan oleh guru. Pertama adalah membuat permainan siswa memerankan tokoh berbagai skenario masalah, dilanjutkan dengan mereka mengeksplorasi faktor-faktor yang dipermasalahkan.
Setelah itu, mereka mengklarifikasi masalah dan menjelaskan duduk perkara, diikuti dengan mencoba kemungkinan penyelesaiannya juga bisa diterapkan di situasi yang berbeda. Baru pada tahap akhir mengevaluasi aspek-aspek keberhasilan dan yang harus diperbaiki.
“Materi dari buku pelajaran bukan sumber utama karena siswa didorong mencari dari berbagai sumber. Guru memberi mereka kemampuan mencari dan mengawasi agar siswa mempraktikkannya dengan benar,” tutur Rizal.
Kompetensi guru
Kemdikbud sudah melaksanakan Peningkatan Kompetensi Pemelajaran kepada 200.000 guru inti yang dipilih tidak hanya dari kinerja, tetapi kecakapan memanfaatkan teknologi digital untuk belajar. Pakar teknologi informasi dan komunikasi Indra Charismiadji berpendapat, cara ini lebih hemat dibandingkan dengan memberi pelatihan seragam kepada seluruh guru.
Ia menerangkan, setelah guru-guru yang cepat beradaptasi dengan perubahan ini menerapkan hasil pelatihan, guru-guru mayoritas akan otomatis mengikuti. Berpegang pada teori kurva pemelajaran, pada akhirnya tetap akan ada 16 persen dari guru yang memang menolak perubahan. Namun, hal tersebut bisa diimbangi dengan keberadaan mayoritas yang cakap berteknologi.