Maestro Dongeng I Made Taro Dianugerahi UWRF Lifetime Achievement Award 2019
Maestro dongeng dan permainan tradisional Bali I Made Taro (80) dianugerahi penghargaan pengabdian seumur hidup serangkaian penyelenggaraan Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2019.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·4 menit baca
GIANYAR, KOMPAS – Maestro dongeng dan permainan tradisional Bali I Made Taro (80) dianugerahi penghargaan pengabdian seumur hidup serangkaian penyelenggaraan Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2019. Taro, budayawan Bali asal Karangasem, dinilai telah berkontribusi besar dan konsisten menggali, melestarikan, dan mengembangkan cerita anak dan permainan tradisional selama lebih dari 45 tahun.
Penghargaan pengabdian seumur hidup (lifetime achievement award) UWRF 2019 kepada Taro diserahkan Pendiri Yayasan Mudra Swari Saraswati Ketut Suardana bersama pendiri dan Direktur UWRF Janet DeNefee dalam pembukaan UWRF 2019 di Puri Saren Agung Ubud, Gianyar, Rabu (23/10/2019) malam.
Penyerahan anugerah UWRF Lifetime Achievement Award 2019 itu turut disaksikan Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati yang sebelumnya membuka festival sastra dan literasi bertaraf internasional tahun ke-16 itu.
Penerima penghargaan, Taro mengaku dirinya merasa kaget dan sekaligus bahagia karena ada pihak yang mencermati dan menghargai aktivitasnya sebagai penutur cerita anak dan pelestari permainan tradisional.
“Sudah 46 tahun saya menjalankan aktivitas ini. Mula-mula (mendongeng dan melestarikan permainan tradisional) ini dianggap remeh, dan penilaian itu masih sampai sekarang. Oleh karena itu, saya heran, kok UWRF memberikan saya penghargaan ini,” ujar Taro, pendiri sanggar dan teater Kukuruyuk, seusai menerima penghargaan dari penyelenggara UWRF 2019.
Selama rentang sedari 1973 hingga saat ini, Taro mengaku sudah menghasilkan lebih dari 40 judul buku dongeng dan cerita anak. Dua buku dongeng karya Taro diterbitkan di luar negeri, salah satunya diterbitkan di Amerika Serikat. Penghargaan dari UWRF itu, ujar Taro, membuat dirinya semakin bersemangat menekuni dunia dongeng dan permainan tradisional. “Saya menjadi lupa bahwa saya sudah tua,” tutur Taro.
Sudah 46 tahun saya menjalankan aktivitas ini. Mula-mula (mendongeng dan melestarikan permainan tradisional) ini dianggap remeh, dan penilaian itu masih sampai sekarang. Oleh karena itu, saya heran, kok UWRF memberikan saya penghargaan ini, ujar Taro,
National Program Manager UWRF 2019 I Wayan Juniarta menyatakan Made Taro dinilai layak menerima Lifetime Achievement Award UWRF 2019 karena Taro konsisten menekuni aktivitasnya dan berkontribusi aktif dalam pelestarian dan pengembangan dongeng dan permainan tradisional. “Sampai usianya sekarang, Pak Taro masih aktif mendongeng,” kata Juniarta di Ubud, Gianyar, Rabu petang.
Sejak 2004
UWRF adalah festival sastra di Ubud yang dilangsungkan setiap tahun sejak 2004. Dalam setiap penyelenggarannya, UWRF mengangkat tema yang diinspirasi dari filsafat Hindu dan kearifan lokal namun bernilai universal.
Pada UWRF 2019, penyelenggara mengangkat “Karma” sebagai tema besarnya. Karma dapat dimaknai sebagai hukum sebab dan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan. Acara pembukaan UWRF 2019 di Puri Saren Ubud juga dihadiri Duta Besar Australia untuk Indonesia di Jakarta Gary Quinlan dan sejumlah konsul perwakilan negara sahabat di Bali.
Dalam sambutannya di pembukaan UWRF 2019, staf ahli Menteri Pariwisata bidang management calender of event Esthy Reko Astuti menyebutkan, UWRF sebagai ajang festival sudah mendapatkan pengakuan sebagai salah satu festival sastra internasional terbaik.
UWRF bahkan masuk dalam kalender acara yang mampu mendatangkan wisatawan. UWRF tidak hanya mempertemukan kalangan penulis dan pembaca dari berbagai negara namun juga menguatkan komunikasi antarbangsa.
Adapun Wakil Gubernur Bali Tjok Oka mengatakan, Pemerintah Provinsi Bali menyambut baik penyelenggaraan UWRF dan mengapresiasi festival sastra di Ubud itu sebagai upaya meningkatkan pengetahuan khalayak luas tentang sastra dan literasi serta keberadaan Ubud sebagai destinasi wisata di Bali.
“Kami berterima kasih kepada Janet dan Ketut (penggagas UWRF) serta seluruh tim penyelenggaran Ubud Writers and Readers Festival yang telah menyelenggarakan festival ini hingga tahun ke-16,” ujar Tjok Oka, yang juga tokoh Puri Ubud, Gianyar.
Sementara pendiri dan Direktur UWRF Janet DeNefee menyatakan, festival sastra di Ubud itu dapat digelar hingga 16 tahun karena mendapat dukungan dari komunitas, termasuk masyarakat Ubud.
Janet mengungkapkan penyelenggaraan festival sejak awal dilandasi komitmen dan keyakinan serta kerja keras. “Sejak awal, kami berkeyakinan festival ini adalah hal yang benar untuk dijalankan,” ujarnya dalam jumpa media UWRF 2019.
Tiga orang penulis, yakni Andreas Harsono dan Famega Syavira Putri dari Indonesia serta Novuyo Rosa Tshuma asal Zimbabwe, turut dalam jumpa pers UWRF 2019 bersama Pendiri Yayasan Mudra Swari Saraswati Ketut Suardana. Famega, yang juga jurnalis dari BBC Indonesia, menilai festival sastra semacam UWRF menjadi penting dalam upaya mempertahankan budaya menulis dan membaca karya sastra.
UWRF 2019 akan menghadirkan sekitar 180 orang pembicara dari sekitar 30 negara. Para pembicara, yang berasal dari kalangan penulis, akademisi, dan sastrawan atau pegiat literasi, akan dihadirkan dalam 170 agenda program selama UWRF yang dimulai 23-27 Oktober, mulai dari diskusi panel, lokakarya, pemutaran film, peluncuran buku, maupun pameran seni dan kegiatan lainnya.