LOMBOK UTARA, KOMPAS – Bangsa Indonesia sejatinya dapat hidup harmonis di tengah berbagai keberagaman yang ada. Banyak hal bisa menjadi sarana pemersatu bangsa, salah satunya melalui budaya.
Dusun Tebango, Desa Pemenang Timur, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat dapat menjadi contoh baik atas keharmonisan yang terjadi antarumat beragama. Dusun yang berada sekitar 27 kilometer dari Kota Mataram ini memiliki penduduk dengan beragam agama, seperti Buddha, Hindu, dan Islam.
Dari 352 kepala keluarga (KK) di sana, sekitar 300 KK di antaranya adalah Buddha. Meski begitu, kehidupan bermasyarakat di tempat ini berjalan baik tanpa ada konflik sosial yang berarti.
Kepala Dusun Tebango, Andi Setiawadi, Selasa (3/9/2019), mengatakan, agama itu sifatnya pribadi. Sementara budaya merupakan tradisi yang dipercaya dan dihormati oleh semua warga.
"Untuk itu, budaya lokal inilah yang mampu mempererat keberagaman yang terjadi di Tebango,” ujar Andi di sela-sela acara puncak program “Siu Ate Sopoq Angen” di kompleks Vihara Jaya Wijaya, Dusun Tebango
Program itu merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Seniman Budaya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sio Ate Sopoq Angen sendiri memiliki arti seribu hati satu rasa.
Ungkapan tersebut bisa dimaknai sebagai semangat gotong royong, welas asih, asah-asih-asuh, tenggang rasa, serta toleransi dan kasih sayang antarsesama manusia.
Andi menambahkan, tradisi turun temurun lainnya yang menjadi penguat nilai kebersamaan bagi masyarakat setempat adalah “Sorak Siu". Tradisi ini dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat, tanpa memandang agama yang dimiliki. Semua berperan dalam tradisi yang disebut “Sorak Seribu" ini.
“Semua warga berteriak secara kompak dalam tradisi Sorak Siu. Teriakan ini menjadi semangat dalam memperkuat setiap warga agar menjadi lebih baik. Jadi, semua berteriak di bawah satu komando untuk menghormati leluhur,” ucap Andi.
Seni dan budaya dijalankan dengan pendekatan emosional. Semua bisa berekspresi tanpa takut dikekang. Harmonisasi yang tercipta bisa utuh diwujudkan.
Ketua Komunitas Kearifan Lokal Tebango, Metawadi, menuturkan, budaya bisa mendekatkan diri pada kebaikan dalam pengalaman spiritual. Cara yang digunakan pun menyenangkan, antara lain melalui lagu, tarian, seni, dan musik.
Menurut dia, para leluhur telah mewariskan nilai budaya agar masyarakat bisa hidup berdampingan dengan rukun dan sejahtera.
“Seni dan budaya dijalankan dengan pendekatan emosional. Semua bisa berekspresi tanpa takut dikekang. Harmonisasi yang tercipta bisa utuh diwujudkan. Karena itu, pembangunan karakter sejak dini sangat tepat disampaikan melalui kebudayaan,” ujar Metawadi.
Kepala Bidang Kebudayaan dan Kesenian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lombok Utara, Arnowadi, menyatakan, kebudayaan merupakan identitas bangsa yang harus terus dilestarikan.
Dari warisan nenek moyang inilah kita bisa bersatu hidup rukun tanpa konflik yang berarti, apalagi konflik terkait agama
Arnowadi mengatakan, budaya bukan hanya tanggung jawab orangtua saja melainkan semua masyarakat, terutama generasi muda.
“Generasi muda saja ajak untuk bisa meneruskan warisan yang telah dititipkan nenek moyang kita. Kalau bukan kita, siapa lagi. Dari warisan nenek moyang inilah kita bisa bersatu hidup rukun tanpa konflik yang berarti, apalagi konflik terkait agama,” ucapnya.
Selain itu, Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali, I Made Dharma Sutedja menilai, proses pelestarian budaya tidak hanya menjadi bentuk menjaga warisan budaya Indonesia.
“Yang terpenting dan paling mendasar adalah bagaimana nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para pendahulu mampu kita jaga dan kita maknai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” tuturnya.