115.243 Siswa Sekolah Dasar di Sumba Belum Mampu Berliterasi
Sebanyak 115.243 dari total 142.275 siswa sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah di Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Tengah, dan Sumba Barat Daya Provinsi Nusa Tenggara Timur belum mampu membaca, menghitung, dan menulis. Pendidikan dasar menjadi kunci sukses generasi Sumba untuk masuk dunia kerja tahun 2030. Ketersediaan buku-buku bacaan memacu siswa berliterasi, di semua perpustakaan sekolah di Sumba tidak ada. Survei ini sebagai proyek percontohan membenahi pendidikan di NTT.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Sebanyak 115.243 siswa dari total 142.275 siswa sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah di Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Tengah, dan Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur, belum mampu membaca, menghitung, dan menulis atau calistung. Pendidikan dasar menjadi kunci sukses generasi Sumba masuk dunia kerja tahun 2030. Ketersediaan buku-buku bacaan memacu siswa berliterasi, di semua perpustakaan sekolah di Sumba tidak ada. Survei ini sebagai proyek percontohan membenahi pendidikan di NTT.
Kepala Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Mochamad Abduh ketika memaparkan hasil survei tim pembina program inovasi pendidikan Sumba di Kupang, Kamis (27/6/2019) mengatakan, tidak semua siswa sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) memiliki kemampuan berliterasi yang sama. Ada siswa yang cukup maju, tetapi ada pula siswa paling terbelakang.
”Ada sekitar 115.243 dari total 142.275 siswa SD dan MI di Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, dan Sumba Tengah atau di Pulau Sumba belum tahu membaca, menulis, dan menghitung. Hanya 27.032 siswa yang bisa membaca, menulis dan menghitung dengan lancar. Ini masalah besar bagi pendidikan di jenjang yang akan datang,” kata Abduh.
Semua sekolah di Sumba tidak memiliki buku bacaan yang baik untuk menarik minat baca siswa. Belum ada buku bacaan anak-anak, seperti cerita rakyat, yang membuat anak itu terus mengingat dan berpikir setelah membaca buku itu. Semua perpustakaan sekolah hanya memiliki buku sekolah.
Ada sekitar 115.243 dari total 142.275 siswa SD dan MI di Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, dan Sumba Tengah atau di Pulau Sumba belum tahu membaca, menulis, dan menghitung. Hanya 27.032 siswa yang bisa membaca, menulis dan menghitung dengan lancar. Ini masalah besar bagi pendidikan di jenjang yang akan datang.
Survei selama tiga pekan di empat kabupaten di Sumba dilakukan Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI bekerja sama dengan wakil pemerintahan Australia dan NGO di Sumba. Survei diadakan dalam rangka kesiapan kabupaten sedaratan Sumba dalam pelembagaan hasil rintisan inovasi di NTT. Inovasi untuk anak sekolah Indonesia.
Topik pembahasan yang hendak digaungkan lewat survei ini adalah melihat dunia pendidikan siswa 2019 dalam rangka menyambut dunia kerja 2030. Karena pada tahun 2030, para siswa SD/MI saat ini bakal memasuki dunia kerja, setelah lulus pendidikan tinggi.
Menurut Abduh, jika kondisi pendidikan SD/MI di Sumba seperti saat ini tetap dipertahankan karena dianggap wajar dan telah memenuhi standar, Sumba khususnya, dan NTT pada umumnya akan ketinggalan menyambut dunia kerja 2030. Kondisi dan tuntutan dunia kerja pada tahun 2030, tidak seperti tuntunan dunia kerja saat ini. Tahun 2030 semua serba cepat, kreatif, dan inovatif dengan mengandalkan dunia digitalisasi.
”Kami temukan di lapangan, guru mengajar sangat monoton dari tahun ke tahun. Siswa juga bosan setiap hari di dalam kelas, tidak kreatif dan inisiatif belajar sendiri. Siswa hanya duduk menunggu kapan jam istirahat, dan kapan waktu pulang sekolah,” katanya. Padahal memacu semangat belajar dan kreativitas siswa, guru bisa menghadirkan hewan dan tumbuhan di dalam kelas untuk dijelaskan kepada siswa sehingga mereka cepat memahami masalah dalam kehidupan di masyarakat.
Kami temukan di lapangan, guru mengajar sangat monoton dari tahun ke tahun. Siswa juga bosan setiap hari di dalam kelas, tidak kreatif, dan inisiatif belajar sendiri. Siswa hanya duduk menunggu kapan jam istirahat, dan kapan waktu pulang sekolah.
Kemampuan siswa khusus untuk soal-soal yang mengandalkan keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTS) masih sangat rendah. Misalnya, pada soal menafsirkan dan mengintegrasikan ide dan informasi.
Skor rata-rata pemahaman literasi siswa 47,4. Khusus anak perempuan mencapai 48,2, laki-laki 46,1. Domain kognitif untuk penerimaan informasi sebanyak 51,9, membuat kesimpulan yang jelas 37,7, memahami dan mengintegrasikan ide dan informasi 31, dan kemampuan menulis hasil dikte 58,8.
Ketua Forum Peduli Pendidikan Sumba, yang juga Wakil Bupati Sumba Timur Umbu Lili Pekujawa mengatakan, pendidikan SD/MI di empat kabupaten di Sumba masih jauh di bawah standar. Hasil survei ini sebagai pemacu bagi semua pengambil kebijakan di Sumba termasuk guru, kepala sekolah, DPRD, dan pengusaha.
Bahasa daerah
Sebanyak 101,015 siswa di sekolah menggunakan bahasa lokal (daerah) sebagai bahasa ibu dengan bahasa Kodi sebagai bahasa yang paling banyak digunakan. Siswa yang berbasa ibu bahasa Indonesia memiliki peluang menguasai tes literasi dasar dua kali lebih tinggi dibandingkan siswa yang berbahasa ibu bahasa daerah Kodi atau bahasa daerah lain.
Jumlah gedung SD/MI di Sumba 661 unit. Sementara gedung sekolah kecil, yakni SD/MI untuk kelas 1-3 di dusun terpencil sebanyak 81 unit. Setelah kelas empat, siswa sekolah kecil akan pindah ke sekolah induk untuk melanjutkan pendidikan SD/MI kelas 4-6. Kelas kecil diadakan dengan pertimbangan jarak gedung SD/MI dengan dusun tertentu ditempuh berjalan kaki 2-3 km.
Angka stunting di Sumba 30.566 orang. Jumlah penduduk miskin di Sumba 236.000 jiwa, sementara warga miskin di NTT 1.142.000 jiwa. Sekolah SLB menampung 2.429 anak berkebutuhan khusus (ABK), sebagian besar tunagrahita. Meski demikian dua ABK di Sumba meraih juara II nasional lomba IPA dan juara III kompetisi sains madrasah.
Pertemuan kelompok kerja guru (KKG) masih sangat minim, jauh di bawah standar pertemuan KKG yang ditargetkan, yakni minimal 12 pertemuan dalam satu tahun. Guru lulusan S-1 (D-4) 223 guru, di bawah D-4/S-1 sebanyak 606 guru, guru PNS sebanyak 341 orang, bukan PNS 760 orang, guru tersertifikasi 88 orang, dan belum tersertifikasi 1.013 guru. Jumlah guru 1.101 orang.
Asisten I Bidang Perintahan Sekretariat Daerah NTT H Jamal Achmat mengatakan, jumlah siswa SD/MI di NTT tahun 2018 sebanyak 77.684 orang, di antaranya 142.275 siswa ada di Sumba. Survei dilakukan di Sumba sebagai proyek percontohan untuk membenahi pendidikan di NTT secara keseluruhan. Jika kondisi pendidikan SD/MI di Sumba demikian, secara keseluruhan NTT pun demikian.
”Pemprov siap bekerja sama dengan Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan mitra kerja dari Australia serta lembaga masyarakat peduli pendidikan. Semboyan NTT bangkit menuju sukses, dengan sektor penggerak adalah sumber daya manusia,” kata Jamal.
Forum Peduli Pendidikan Sumba ini juga akan dibentuk di Timor, dan Flores untuk melakukan studi inovasi pendidikan serupa. Pemprov NTT memiliki program unggulan mencerdaskan generasi muda untuk menopang pembangunan di masa datang.