Gamelan mampu mengajarkan caranya bersatu dalam keberagaman. Instrumen yang berbeda-beda saling melengkapi untuk menghasilkan alunan lagu atau gending. Semua pengrawit, sebutan untuk pemain gamelan, memahami satu sama lain sehingga tercipta keharmonisan dalam permainan.
Oleh
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Gamelan mampu mengajarkan caranya bersatu dalam keberagaman. Instrumen yang berbeda-beda saling melengkapi untuk menghasilkan alunan lagu atau gending. Semua pengrawit, sebutan untuk pemain gamelan, memahami satu sama lain sehingga tercipta keharmonisan dalam permainan.
Hal tersebut ingin dicapai melalui Festival Seni Karawitan Gending Gerejani (Sekar Geni) Ke-7 yang diselenggarakan di Auditorium Driyarkara, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Minggu (12/5/2019). Ajang tersebut diadakan setiap tahun sejak digelar pertama kali pada 2012.
G Budi Subanar, budayawan, mengatakan, tema yang diambil dalam perhelatan tahun ini ialah ”Bersatu Hati Membangun Harmoni”. Tema tersebut hendak menunjukkan keluwesan gamelan mengakomodasi berbagai perbedaan yang ada. Perbedaan itu tidak melemahkan, tetapi justru menjadi kekayaan bagi musik tradisi itu.
Subanar menambahkan, secara simbolik, hal itu coba digambarkan dari logo festival ini yang memadukan gambar kenong dan simbol kunci G dalam not balok. Keduanya berasal dari akar budaya yang sangat berbeda.
”Kenong merupakan salah satu instrumen dalam gamelan yang berasal dari bumi Nusantara, sedangkan kunci G adalah bagian dari budaya Barat. Dalam kombinasi itu, kami menyatukan hati untuk membangun harmoni,” kata Subanar.
Ada delapan kelompok karawitan yang ikut serta dalam festival tahun ini. Setiap kelompok membawakan nuansa yang berbeda. Ada yang menyuguhkan komposisi yang gegap gempita disertai gerak tari yang meriah. Ada pula yang menyajikan gending yang mendayu sehingga membuat suasana syahdu.
Bukan kompetisi
Subanar menjelaskan, format acara itu sengaja dibuat bukan sebagai kompetisi. Para peserta tampil sebaik mungkin tidak untuk dirinya sendiri, tetapi demi menyajikan kemeriahan yang membuat semua orang yang terlibat berbahagia bersama.
Kenong merupakan salah satu instrumen dalam gamelan yang berasal dari bumi Nusantara, sedangkan kunci G adalah bagian dari budaya Barat. Dalam kombinasi itu, kami menyatukan hati untuk membangun harmoni.
Grup musik jazz bernama Anteng Kitiran, yang beranggotakan Eko Yuliantoro (biola), Krisna Pradipta Tompo (keyboard), Gagah Pacutantra (drum), dan Harly Yoga Pradana (bas), turut menghibur penonton yang hadir dalam festival itu. Warna musik tradisi sangat kental pada setiap komposisi yang mereka bawakan.
Biola, bas betot, dan keyboard membunyikan nada pelog dan slendro yang biasa dilantunkan gamelan. Selain itu, set drum juga dilengkapi dengan kendang sehingga menambah unik suaranya tiap kali digebuk.
Eko menjelaskan, grup musik yang digawanginya itu memang banyak terinspirasi dari gamelan Jawa. ”Gamelan ini sangat keren. Ada kekayaan ritmikal. Semuanya terwakili dalam okrkestrasi gamelan. Ada kebersamaan di dalamnya yang membuat setiap individu berpartisipasi pada keindahan komposisi gamelan,” katanya.
Subanar menyampaikan, apa yang dilakukan Anteng Kitiran menunjukkan keluwesan gamelan. Grup musik itu seolah menjadi jembatan antara wilayah tradisi dan kontemporer. Rasa gamelan tidak hilang, tetapi justru menghasilkan pengalaman bunyi yang unik dan berkesan.
Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Universitas Sanata Dharma Paulus Bambang Irawan menyampaikan, dari tahun ke tahun, festival itu terus diadakan demi mengajak anak muda agar tak lupa pada akar budayanya. Lebih dari itu, saat berlatih gamelan, seseorang sekaligus belajar untuk memahami orang lain.
”Saat ini banyak yang semakin sulit mendengarkan perbedaan. Ini keunggulan dari karawitan. Kita belajar dan berlatih untuk mendengarkan orang yang ada di kanan dan kiri kita dengan berbagai keunikannya. Kemauan mendengar dan berirama bersama ini yang membentuk harmoni,” ucap Bambang.
Dalam festival itu, Sindhunata, budayawan, juga mendapatkan penghargaan karena dinilai ikut serta melestarikan karawitan lewat karyanya berupa syair tembang macapat yang dibuat gendingnya pula, yang dibukukan dalam judul Sumur Kitiran Kencana.
Karya itu dibuat sewaktu ia menjadi pastor paroki di Gereja Maria Assumpta Pakem, Sleman, DIY, sekitar tahun 1980. Macapat itu masih ditembangkan hingga lebih dari 30 tahun sejak diciptakan.
Saat ini banyak yang semakin sulit mendengarkan perbedaan. Ini keunggulan dari karawitan. Kita belajar dan berlatih untuk mendengarkan orang yang ada di kanan dan kiri kita dengan berbagai keunikannya. Kemauan mendengar dan berirama bersama ini yang membentuk harmoni.
Syair tersebut bercerita tentang ziarahnya bersama beberapa umat ke tujuh mata air di sekitar lereng Merapi. Bersama umatnya, ia juga menggali sumur di dalam gereja yang luasnya lebih kurang 20 cm x 20 cm dengan kedalaman 4 meter, yang kini masih menjadi tempat ziarah.