JAKARTA, KOMPAS — Belajar dari kasus pemotongan salib dan pemindahan ibadat arwah salah seorang umat katolik di Paroki Pringgolayan, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (18/12/2018) lalu, pemerintah dan aparat keamanan mesti tegas dan konsisten dalam melindungi dan membela hak-hak asasi manusia serta hak-hak dasar warga negara Republik Indonesia. Jika hal-hal serupa dibiarkan, maka kasus serupa bisa menular di tempat lain.
Penegasan ini disampaikan Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra, Jumat (21/12/2018) di Jakarta. "Pemerintah dan aparat keamanan jangan lakukan pembiaran, tokoh agama juga jangan berpangku tangan," ucapnya.
Menurut Azyumardi, pemeriHIntah dan aparat keamanan harus melihat kasus ini secara proporsional dan obyektif. Jangan sampai, mereka kemudian merasa seolah-olah ditekan oleh kelompok-kelompok tertentu.
"Sering pemerintah dan aparat kemanan menyerah pada tekanan kelompok-kelompok tertentu. Tidak ada pilihan lain, pemerintah harus tegas dan konsisten dalam menegakkan hukum serta konstitusi tanpa pandang bulu," ujarnya.
Berdasarkan pengumpulan data tim Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (KKPKC) Kevikepan DIY, insiden pemotongan salib memang terjadi, status makam saat pemakaman adalah makam umum, dan peristiwa intoleransi yang dialami almarhum bukan peristiwa tunggal. "Tim mencatat dua peristiwa kekerasan lain yang terjadi sebelum peristiwa ini," kata Ketua KKPKC Kevikepan DIY Ag. Sumaryoto. Menyikapi hal ini, tim meminta aparat Kepolisian untuk melindungi keluarga korban dari segala bentuk tekanan dan ancaman fisik maupun psikis sehingga tetap dapat hidup berdampingan dengan baik bersama warga yang lain.