JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan masyarakat yang berkelanjutan merupakan solusi bagi pertahanan manusia melawan beredarnya hoaks. Selain itu, dibutuhkan juga keterlibatan pemerintah memastikan konten kurikukum menghadirkan pelatihan kemampuan berpikir kritis dan analitis serta memastikan guru-guru selalu mendapat pelatihan dalam menyaring informasi yang akurat dari kebohongan.
Hal tersebut disampaikan oleh Koordinator Komunikasi dan Informasi Asosiasi Pendidikan Dasar dan Dewasa untuk Asia dan Pasifik Selatan (ASPBAE) Medha Soni dalam lokakarya literasi digital di kantor Sekretariat Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) di Jakarta, Senin (17/12/2018). ASPBAE merupakan jaringan 200 organisasi masyarakat sipil di Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Tengah, dan Kepulauan Pasifik yang bergerak di penyetaraan akses dan mutu pendidikan.
"Pada tahun 2020 diperkirakan jumlah hoaks akan lebih banyak daripada berita. Ini karena perputaran hoaks sangat cepat dan masif, terutama melalui media sosial," tutur Soni.
Ia menjelaskan beberapa hal penyebab hoaks. Pertama ialah untuk mencari sensasi, kemudian untuk melakukan fitnah, mencari keuntungan politik, dan mendapat keuntungan ekonomi. Akan tetapi, ada pula hoaks berupa satir yang bertujuan sebagai hiburan masyarakat. Permasalahannya, tidak semua masyarakat mengerti bahwa informasi tersebut bohong.
"Selain kurang memahami wujud hoaks, masyarakat Asia sangat guyub dan mudah memercayai kabar yang dikirim melalui media sosial oleh sanak saudara," papar Soni.
Hal ini menjadi tantangan karena berpikir kritis berarti juga menelusuri kejelasan informasi yang diberikan oleh orangtua, teman karib, maupun orang yang dituakan. Ada perubahan dalam norma strata sosial di masyarakat Asia yang belum semua pihak nyaman melakukannya.
Tanggung jawab semua
Soni menjabarkan, peredaran hoaks akan sukar dihentikan karena banyak anggota masyarakat yang mendapatkan hiburan melalui membaca hoaks. Hoaks menggunakan kosakata sensasional yang langsung memengaruhi emosi pembaca sehingga menimbulkan keterikatan.
Di samping itu, situs-situs hoaks di internet mendulang banyak keuntungan finansial karena diakses banyak orang. Satu-satunya cara melawan ialah mengetahui bahwa setiap individu bertanggung jawab mendidik diri sendiri agar berpikir kritis.
"Orangtua dan guru jangan sampai termakan hoaks, apalagi menjadi pembuat dan penyebar karena itu merupakan pendidikan yang tidak bermoral," ujar Soni.
Ia menuturkan, masyarakat memang harus dituntut jeli agar bisa memastikan bahwa suatu informasi itu bukan hoaks.
Misalnya dengan mengecek alamat situs pemuat informasi, tanggal artikel diterbitkan, nama penulis, dan melakukan verifikasi topik yang dibahas ke sumber-sumber lain. Hal ini memang melelahkan, tetapi baru ini cara untuk membentengi diri dari hoaks.
Sebar ilmu
Koordinator Nasional JPPI Abdullah Ubaid mengatakan, lokakarya diikuti anggota JPPI se-Indonesia. Mereka meruoakan orang-orang yang aktif di berbagai organisasi, mulai dari organisasi guru, pesantren, hingga lembaga swadaya masyarakat. Mereka pada kesehariannya erat membina lembaga pendidikan formal, nonformal, dan informal, baik yang bersifat umum maupun berbasis keagamaan.
"Seusai lokakarya, mereka diminta untuk menyebarkan ilmu kepada rekan-rekan dan sekolah binaan," ucap Ubaid.
Ia menjelaskan, dukungan dari masyarakat sangat berguna mengajak guru melek literasi digital. Permasalahan selama ini adalah guru disibukkan dengan tugas administratif sehingga tidak punya waktu untuk membaca mendalam ketika menerima sebuah informasi. Apalagi, menghadapi tahun politik 2019 segala unsur pendidikan harus siap membentengi diri dari berbagai hoaks dan kampanye hitam. (DNE)