JAKARTA, KOMPAS — Satrawan Martin Aleida meluncurkan 35 cerita pendek dalam sebuah karya buku berjudul “Kata-Kata Membasuh Luka” di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (14/12/2018). Dalam bukunya, Martin Aleida tidak hanya menulis cerita berlatar belakang situasi politik 1965, tetapi juga kisah-kisah manusia biasa.
Buku tersebut memuat cerita pendek (cerpen) yang pernah Martin tulis sejak tahun 1968 hingga 2018. Beberapa cerpen yang dihadirkan antara lain, “Tanah Air”, “Kesaksian Ganja Kering, Basah Air Mata”, atau “Melarung Bro di Nantalu” yang menggambarkan berbagai kesulitan yang dihadapi masyarakat pasca 1965. Sebagian cerpen tersebut pernah diterbitkan di harian Kompas edisi minggu.
Mantan wartawan Harian Rakyat, media yang pernah dibentuk Partai Komunis Indonesia tahun 1950-an, ini kerap dikenal sebagai orang kiri. Namun, ia memastikan bahwa kumpulan karyanya tersebut tidak dibuat sebagai media propaganda.
“Saya hanya berharap tulisan ini dapat memperkaya wawasan pembaca, bukan mempropaganda. Jika cetusan saya menyalahkan satu pihak, Anda tak bisa salahkan saya, karena saya pernah menjalani pengalaman pahit tersebut,” ujarnya.
“Tak pernah kami perkatakan bagaimana nanti kami menjemput ajal. Kami sadar pertanyaan itu di luar jangkauan kodrat kami untuk menjawabnya. Tetapi, niat kami sudah teguh. Kalau kami mati, kami ingin dikuburkan di daratan Nantalu,” demikian cuplikan paragraf pertama cerpen berjudul “Melarung Bro di Nantalu”. Cerpen tersebut menceritakan tokoh yang tidak bisa kembali ke Indonesia akibat situasi politik pasca 1965.
Meski menggambarkan situasi politik saat itu, karya tersebut menurutnya tidak dibuat untuk menyampaikan informasi layaknya karya jurnalistik. Hal ini ia ungkapkan untuk menanggapi komentar sastrawan Sori Siregar yang menyampaikan pendapat dalam peluncuran buku tersebut.
“Pandangan pengarang hanya menerangkan satu sisi, dari sisi akibatnya saja. Kalau ada penjelasan tentang asal muasalnya tentu akan lebih lengkap dan lebih kuat,” ujar Sori. Menurutnya, tulisan sastra berlatar sejarah perlu informatif karena sejarah terus diteliti kebenarannya.
Berbeda dengan Sori, Sosiolog Universitas Indonesia Thamrin Amal Tomagola justru menaruh perhatian pada cerpen Martin yang lebih menceritakan kisah keseharian yang humanis. Seperti cerpen “Pulang” yang mengisahkan seorang gadis kampung yang dijebak pria mapan untuk dijadikan selingkuhan sekaligus tenaga kerja di Negeri Jiran.
“Kumpulan cerpen ini menunjukkan bahwa kekuasaan mutlak bisa disalahgunakan untuk membunuh peradaban dan kemanusiaan. Salah satunya ada di cerpen ‘Pulang’ yang kuat sekali menunjukkan adanya dimensi jender dan penyalahgunaan kekuasaan dalam keluarga,” tuturnya. (ERIKA KURNIA)