Bagaimana menjalani hidup berdasarkan pilihan yang tidak Anda kehendaki sendiri?
Sebuah sajian musik teatrikal berjudul Simpang Jalan Menuju Rumah memberikan jawaban atas pertanyaan di atas. Dalam pementasan itu, muncul sebuah kritik tentang keinginan anak untuk menjalani hidup atas pilihannya, tapi hal itu tak didapatkan. Meski begitu, mereka tetap menjalaninya sambil dibayangi kegundahan di persimpangan jalan.
Pementasan hasil kolaborasi Galeri Indonesia Kaya, Bakti Budaya Djarum Foundation, dan Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PBSK) dipentaskan pada Sabtu (8/12/2018), di Jakarta. Para seniman pasca terampil yang berperan yaitu, Isti Fadah Nur Rohmah, Nurina Susanti, MT Gilang A Nasution, Regina Gandes M, Slamet Iran, S Kasih Hasibuan, dan Wijil Sinang PW.
Direktur Eksekutif Yayasan PBSK Jeannie Park mengatakan, tema yang dipilih merupakan bentuk refleksi yang dialami oleh para pemeran. Persoalan yang sering terjadi di lingkungan sekitar justru menarik untuk diangkat.
“Terkadang suatu persoalan dianggap menjadi hal yang biasa, karena dialami sejumlah masyarakat. Padahal, selalu ada sisi menarik yang bisa dimaknai lebih dalam. Pemaknaan itu diperoleh lewat musik teatrikal,” ujar Jeannie.
Secara garis besar, pementasan ini bercerita tentang persoalan yang kerap dihadapi seorang anak ketika ingin melanjutkan studi di perguruan tinggi. Terkadang jurusan yang dikehendaki si anak mendapatkan pertentangan dari pihak orang tua. Akhirnya pilihan dari orang tua justru membuat si anak berhadapan dengan berbagai persimpangan untuk menemukan jalan menuju pada pilihannya sendiri.
Sebuah narasi di awal, seorang anak ditawarkan program beasiswa pada suatu jurusan di perguruan tinggi favorit, tapi kesempatan itu tak ia ambil. Ia mempertimbangkan pendapat antara orang tua dan suara hatinya. Mereka pun memilih untuk mendengarkan suara hatinya. Segala risiko yang terjadi ke depan akan dihadapi. Toh menjalani sesuatu yang disenangi akan membuat prosesnya berjalan menggembirakan.
Lain lagi dengan Gilang, pemuda dari sebuah desa, orang tuanya sangat mendukung Gilang untuk menuntaskan pendidikannya. Mereka memberikan kebebasan kepada Gilang untuk menentukannya. Namun, dalam setiap proses yang dihadapi Gilang, kebebasan itu tidak sepenuhnya bebas. Muncul syarat-syarat lain yang justru mengekang Gilang. “Katanya sih terserah ya, tapi harus begini-begitu…..,” ujarnya.
Sebutan ‘mahasiswa salah jurusan’ juga dimunculkan dalam pementasan itu. Kecenderungan mayoritas mahasiswa jenis itu adalah melipir berkegiatan di unit kegiatan mahasiswa (UKM) ketimbang mengikuti kelas. Aktivitas lain yang dilakukan adalah sibuk kerja paruh waktu.
Pada puncaknya, realita tentang persoalan setelah lulus kuliah menjadi momok dalam pementasan ini. Misalnya, mahasiswa perantau yang tak memiliki tujuan setelah lulus mau bekerja apa akan mengalami ketakutan. Ya, sebuah ketakutan untuk kembali ke rumah, ‘bagaimana jika para tetangga mengejek saya karena masih nganggur?’, ‘Orang tua meminta saya untuk bekerja di desa. Mau dikemanakan ijazah S-1 ini?’, ‘Bagaimana jika keluarga di rumah tidak memberikan pilihan pada saya untuk menjelaskan masa depan gelar yang saya dapat?’.
Rumah yang seharusnya menjadi tempat untuk pulang tapi justru dihindari. Kegundahan kian memuncak saat tak tahu harus kembali kemana setalah lulus kuliah. Tidak mudah untuk menjalani pilihan yang diputuskan oleh orang lain. Begitupun menjalani pilihan yang diputuskan sendiri. Keduanya sama-sama harus dipertanggungjawabkan.
“Berani memperjuangkan pilihan sendiri itu penting, karena yang menjalani adalah diri kita sendiri. Pilihan itu harus bisa dipertanggung jawabkan,” kata Isti.
Seperti lirik lagu penutup yang dibawakan, kau ingin memilih, namun pilihanmu tidak menyelamatkan, kau ingin memilih, namun pilihanmu berbayang di persimpangan jalan. Yakinlah dengan pilihan yang dijalani. Jika pilihan itu malah mempersulit kehidupan, tetaplah berjuang dengan pilihan itu!