Perdamaian di Maluku tak serta-merta tercipta dengan hadirnya aparat keamanan atau Deklarasi Malino. Resolusi konflik Maluku justru muncul dari kerja-kerja kebudayaan.
JAKARTA, KOMPAS - Pada saat agama dan negara sulit menemukan jalan keluar dari konflik yang berkepanjangan di Maluku sejak 1999 hingga 2011, kegiatan seni budaya berbasis kearifan lokal justru menjadi perekat persaudaraan yang paling efektif. Modal sosial yang telah dimiliki selama berabad-abad ini memberikan harapan bagi masa depan bangsa yang lebih cerah.
"Maka tombak kita sudah menjelma selendang, pedang kita sudah menjelma sapu tangan. Mari baku bungkus, mari seka ari mata. Maka marilah menari supaya bumi tetap menari, supaya tarian perang menjelma tarian damai. Peluk raga dan jiwa, sebab kita memang satu darah". Demikian penggalan puisi berjudul "Tarian Perang, Tarian Damai" yang didaraskan Iskandar Slameth diiringi tarian Ronald Regang.
Kolaborasi penampilan pemuda muslim dan kristen asal Ambon ini mengawali Pidato Kebudayaan "Resolusi Konflik Berbasis Adat-Istiadat" yang disampaikan Asisten Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia untuk Dialog dan Kerja Sama Antariman dan Antarperadaban, Jacky Manuputty, Rabu (5/12/2018) di hari pertama Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) 2018 di Kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Iskandar dan Ronald adalah eks tentara anak yang dahulu pernah saling berperang saat konflik besar pencah di Ambon dan kawasan Maluku 1999.
"Ronald yang waktu itu masih berusia 10 tahun dan Iskandar 14 tahun hidup dalam suasana konflik. Mereka terbiasa memegang senjata, mulai dari ketapel, senjata laras panjang SS 1, hingga bom rakitan. Dulu mereka berhadapan di medan konflik, tapi sekarang mereka bekerja sama dalam gerakan-gerakan resolusi konflik dengan menari dan berpuisi," kata Jacky.
Saat pecah konflik di Maluku sempat muncul satu pertanyaan menohok, apa yang terjadi dengan tradisi pela gandong di Maluku? Mengapa tradisi budaya yang begitu luhur itu bisa diterabas dengan konflik? Pela gandong adalah hubungan persaudaraan antarawarga. Pela lewat pakta persaudaraan atas dasar peristiwa tertentu, sedangkan gandong didasarkan atas kesatuan darah.
Menurut Jacky, rapuhnya kearifan lokal itu terjadi karena proses penyeragaman budaya secara nasional dan semakin kompleksnya keragaman masyarakat di Maluku. Pela gandong tidak hancur tetapi didorong jauh ke lorong-lorong gelap. Meski demikian, masyarakat secara sembunyi-sembunyi tetap saling berhubungan. Di Rumah Sakit Tentara, warga muslim dan kristen tetap berelasi dengan bahasa lokal mereka, di laut orang bertukar ikan meski di darat mereka bermusuhan.
Proses interaksi masyarakat yang saling berkonflik semakin terjalin dalam kegiatan-kegiatan seni budaya. "Ketika mereka menyanyikan lagu gandong, mereka langsung histeris. Begitu musik diteruskan, mereka mulai tenang, orang mulai menyanyi dan menari bersama, menangis bersama. Hanya dalam waktu 2,5 jam mereka tersentuh dan menyatu," kata Jacky.
Tak ada sekat
Ronald mengungkapkan, seni budaya tak mengenal sekat. Karena itulah, melalui kegiatan menyanyi, menari, dan berkolaborasi bersama, masyarakat Maluku mulai melebur dan bersatu. "Dulu, mainan kami bom dan senjata. Kami kehilangan semuanya. Janganlah generasi berikutnya merasakan apa yang kami alami dulu," tambah Iskandar.
Penampilan kolaborasi dua pemuda kristen dan muslim ini mengawali KKI 2018 yang resmi dibuka, Rabu (5/12/2018). Kongres ini digelar secara terbuka untuk memberi kesempatan kepada ribuan masyarakat memilih event-event budaya yang mereka minati, entah itu kuliah umum, debat publik, diskusi film, lokakarya, pertunjukan, pidato kebudayaan, atau pawai budaya. Rangkaian kongres secara keseluruhan sudah dimulai sejak April 2018.
"Sudah ada 300 kabupaten/kota dan 29 provinsi yang menyelesaikan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah. Selanjutnya yaitu menetapkan strategi kebudayaan. Bila semanya lancar, hari Minggu (9/12/2018) Presiden akan hadir menerima dokumen tersebut," ujar Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid.