Perang Jawa 1825-1830 belum usai. Apa yang diperjuangkan Pangeran Diponegoro nyatanya belum diperjuangkan oleh mayoritas masyarakat saat ini. Dalam catatan hidupnya, Diponegoro memiliki integritas terhadap lingkungan yang diperlukan untuk masa depan yang lebih baik.
"Dia punya kapasitas untuk berbaur dengan lingkungan dan membaca alam," ungkap Adjunct Professor Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) Peter Carey, di Depok, Selasa (4/12/2018).
Peter menyampaikan orasi ilmiah berjudul The Java War 1825-0000: How The Memory of Diponegoro Became The Inspiration for The Modern Indonesian Nationalist Movement (1908-1942). Orasi tersebut disampaikan dalam acara Dies Natalis ke-78 FIB UI yang bertema "Jawa Dulu, Kini, dan Esok".
Penyebutan tahun 0000 dimaksudkan untuk menyatakan bahwa perjuangan Diponegoro belum selesai, salah satunya mengenai kepedulian terhadap lingkungan. "Kita menghadapi isu perubahan iklim dan pencemaran lingkungan. Isu-isu itu belum bisa dijawab sebagian besar penduduk dunia," ujarnya.
Kedekatan Diponegoro dengan alam terungkap dari Babad Diponegoro, yaitu naskah kuno yang sebagian berisi kisah hidup Diponegoro yang lahir pada 1785. Diponegoro menulis biografi tersebut ketika diasingkan pemerintah kolonial Belanda ke Manado usai Perang Jawa pada 1830.
Dalam buku Sisi Lain Diponegoro (2017) yang ditulis Peter Carey, Diponegoro diceritakan sebagai sosok yang kerap bermeditasi di alam ini mau bersahabat dengan binatang, seperti ikan, kura-kura, burung perkutut, hingga buaya.
Bahkan, pada saat bersembunyi di masa akhir Perang Jawa, Diponegoro berteman dengan seekor harimau yang kemudian menjadi pelindungnya. Diponegoro juga pernah mengkritik pembangunan di sekitar Yogyakarta yang dinilai mengganggu kepentingan rakyat. Kedekatan dan perhatian terhadap lingkungan seperti itu menunjukkan kepekaan dan keutuhan spiritualitas seorang Diponegoro.
Menurut Peter, karakter yang dimiliki Diponegoro harus juga dimiliki masyarakat saat ini. Ini bisa dilakukan dengan memulai hidup ramah lingkungan dari hal-hal terkecil, seperti mengurangi penggunaan kantong plastik atau menggunakan transportasi massal ramah lingkungan. "Kita perlu secara radikal mengganti pola hidup," pesannya.
Jika tidak, Peter khawatir Indonesia, yang memiliki jumlah penduduk tidak sedikit, terus menyumbang kerusakan lingkungan bagi dunia. Kelalaian masyarakat yang sebabkan kebakaran lahan dan hutan pada 2015, misalnya, meningkatkan kejadian penyakit pernapasan, pemusnahan keanekaragaman hayati, dan peningkatan emisi karbon dan gas rumah kaca (Kompas, 8/10/2018).