Kata Mereka Tentang Nusantara
Catatan-catatan harian para pelawat asing ke Nusantara telah menguak fakta bahwa negeri ini telah menjadi ajang pertemuan berbagai gagasan dan keyakinan sejak ribuan tahun silam. Masa lalu Nusantara juga bisa dilihat dengan lebih wajar dari kacamata orang asing dan tak lagi hanya mengandalkan acuan dari dalam negeri.
Membaca kembali catatan-catatan harian para pelawat asing ke Nusantara berabad-abad dan bahkan beribu tahun silam membawa pada keseimbangan paradigma. Catatan-catatan itu menegaskan, sejak dahulu Nusantara telah jadi ladang perjumpaan gagasan dan keyakinan.
Berdasarkan tulisan China klasik yang disusun sejarawan istana masa Dinasti Han (206-220 Masehi), relasi diplomatik masyarakat Nusantara dengan China berlangsung sejak ribuan tahun lalu, yaitu sejak 131 Masehi. Masyarakat Nusantara yang paling awal memiliki hubungan bilateral dengan China adalah orang Jawa.
Bahkan, semua catatan Nusantara disusun dengan rapi dalam ensiklopedia Siku Quanshu yang dihimpun Kaisar Qian Long (1736-1796) pada masa dinasti terakhir China, Dinasti Qing (1644-1911). Dokumen-dokumen itu mencatat Nusantara, mulai dari posisi geografis, kondisi alam, hasil bumi, iklim, hingga satwa-satwa khasnya yang tidak bisa ditemui di China.
”Catatan mereka sarat dengan informasi yang tidak hanya bermanfaat bagi orang China sendiri, tetapi juga bagi Indonesia. Pengetahuan semacam ini bisa membantu untuk membuat rekonstruksi sejarah bangsa,” kata Nurni W Wuryandari, pengajar Program Studi China Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Nurni menyampaikan hal itu dalam simposium Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2018 bertema ”Membaca Ulang Catatan Harian Pelawat Asing ke Nusantara” di kompleks Taman Wisata Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat (23/11/2018). BWCF 2018 digelar 22-14 November di Yogyakarta dan Magelang dengan sejumlah acara, mulai dari simposium, diskusi, bedah buku, pemutaran film, hingga pertunjukan seni.
Pusat pembelajaran
Pada 671 Masehi, Yi Jing atau I-tsing, seorang biksu asal China, berlayar selama 20 hari dari Ghuangzhou ke Shili Foshi atau Sriwijaya untuk belajar Sabdavidya atau bahasa Sanskerta sebelum pergi menuntut ilmu ke Nalanda, India, selama 10 tahun (675-685 Masehi). Empat tahun kemudian, Yi Jing tinggal lagi di Foshi selama lima tahun (akhir 689-695 Masehi).
Yi Jing mencatat, para biksu, samanera, dan orang-orang yang akan mendalami ajaran Buddha di Nalanda dianjurkan untuk belajar bahasa Sanskerta terlebih dulu di Sriwijaya. Pada masa itu, Shili Foshi atau Sriwijaya telah berkembang menjadi pusat pembelajaran terkemuka. Karena itu, dalam catatan khusus Yi Jing tentang Foshi, di Shili Foshi dan pulau-pulau di Lautan Selatan ditegaskan ada pusat pendidikan mumpuni yang kemungkinan besar ialah Kawasan Percandian Muaro Jambi di Sumatera.
”Untuk Nusantara, catatan Yi Jing membuat kita bisa menghargai kebesaran bangsa Indonesia yang jadi tempat menimba ilmu, mengetahui tinggalan pengetahuan dan keterampilan dari subyek-subyek yang dulu intensif dipelajari, orang-orang yang datang untuk belajar lalu diajarkan ke belahan dunia lain, hingga bagaimana tradisi masyarakat di masa itu,” kata Shinta Lee dari komunitas Potowa Center dan Sudimuja Jinabhumi.
Untuk Nusantara, catatan Yi Jing membuat kita bisa menghargai kebesaran bangsa Indonesia yang jadi tempat menimba ilmu, mengetahui tinggalan pengetahuan dan keterampilan dari subyek-subyek yang dulu intensif dipelajari.
Amat toleran
Selain sebagai pusat pendidikan Buddha yang disegani di Asia Tenggara, Sriwijaya telah dikenal sebagai kerajaan amat toleran waktu itu. Menurut arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Bambang Budi Utomo, dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Sriwijaya amat bertoleransi dengan para pemeluk agama atau ajaran lain. Sikap itu tecermin pada pemberian arca Lokeswara (abad ke-8) oleh seorang pendeta Hindu kepada raja setempat yang beragama Buddha.
Pada abad ke-15, Nusantara juga tak luput dari lawatan Laksamana Cheng Ho di bawah kepemimpinan Dinasti Ming (1403-1433). Misi muhibah Cheng Ho adalah perdamaian dunia serta penyebaran agama Islam di kawasan Nusantara yang kadang kurang dicermati.
Menurut Tan Ta Sen, Direktur Cheng Ho Cultural Museum Malaka, masuknya agama Islam ke Nusantara tak lepas dari peran para saudagar China. Setelah itu, baru tercipta akses langsung ke Arab, terutama sesudah berakhirnya ekspedisi Cheng Ho.
Wacana Tionghoa Muslim sebagai penyebar agama Islam di Nusantara juga mengemuka setelah ditemukannya naskah berita China Kelenteng Sam Po Kong, Semarang, dan Kelenteng Talang, Cirebon, sekitar tahun 1928. Waktu itu, pemerintah kolonial Belanda menugaskan C Poortman untuk mencari informasi apakah benar Sultan Demak pertama, Raden Patah (dipanggil juga Pangeran Jin Bun), adalah keturunan Tionghoa.
”Hasil riset Poortman menyimpulkan, ada peran Tionghoa Muslim dalam penyebaran agama Islam di Nusantara. Para penyebar agama Islam adalah Bong Swi Hoo, Bong Ang, dan Tan Eng Hoat. Selain itu, tokoh pendiri Kerajaan Demak, menurut berita China Sam Po Kong, adalah seorang Tionghoa bernama Jin Bun (Raden Patah),” kata Widyo Nugrahanto, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, Bandung.
Wacana itu masih mengundang perdebatan. Namun, fenomena menunjukkan bahwa unsur-unsur budaya Tionghoa memengaruhi agama Islam, antara lain munculnya baju koko, songkok, beduk masjid, dan mimbar masjid.
Memasuki periode berikutnya, yaitu masuknya pemerintah kolonial ke Nusantara, sejumlah penulis asing, seperti Tome Pirez dari Portugis, Stamford Raffles dari Inggris, Rhumpius dari Belanda, dan Wallace dari Inggris, melengkapi khazanah kekayaan Nusantara. Di balik kepentingan politik kolonial, kekayaan Nusantara terpetakan dan terdokumentasi.
Mudji Sutrisno, kurator perhelatan itu, beranggapan, catatan-catatan dari para pelawat asing ini bisa jadi pembanding penting atas catatan-catatan dari Nusantara dalam bentuk babad, syair, kisah lisan, legenda, hingga lakon-lakon dalam pentas tradisi. Tanpa pembanding, informasi dari dalam kerap kali bias oleh pelbagai hal sehingga fungsi sejarahnya terkikis.
Menurut Mudji, catatan-catatan dari orang-orang asing itu menjadi penting dalam beberapa hal. Pertama, melihat masa lalu Nusantara secara lebih wajar berdasarkan kacamata penglihatan orang asing. Kedua, tidak menjadikan sumber dari dalam sebagai satu-satunya acuan dalam melihat masa lalu. Ketiga, menyadari sejak dulu, Nusantara merupakan tempat perjumpaan berbagai gagasan dan keyakinan.
”Sejak seribu tahun lebih, Nusantara adalah ranah pelbagai ide dan gagasan memperoleh tempatnya,” katanya.