JAKARTA, KOMPAS — Sebagian besar penegak hukum belum berperspektif jender. Akibatnya, perempuan yang berhadapan dengan hukum tidak mendapatkan keadilan yang sesuai. Belum lagi, kebanyakan perempuan memiliki keterbatasan pengetahuan tentang hak-hak hukum.
Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Medan yang juga anggota Kelompok Kerja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung Albertina Ho menyampaikan, perspektif jender harus dimiliki oleh setiap penegak hukum, termasuk para hakim. Itu sangat penting agar putusan hakim tidak diskriminatif terhadap perempuan.
Atas dasar itulah, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan hukum diterbitkan.
”Perma ini mengatur bagaimana putusan yang berperspektif jender, misalnya tidak boleh diskriminatif, tidak boleh memberikan sikap atau pernyataan yang merendahkan perempuan, serta mempetanyakan pengalaman atau latar belakang seksualitas perempuan tersebut,” ujar Albertina dalam diskusi bertajuk ”Saya dan Keadilan” di Jakarta, Kamis (29/11/2018).
Albertina menyatakan, perma tersebut juga mengatur syarat putusan yang berperspektif jender. Syarat-syarat tersebut adalah identifikasi fakta persidangan berdasarkan status sosial, relasi kuasa, diskriminasi, dampak fisik serta psikis, dan riwayat kekerasan.
Syarat lain adalah mempertimbangkan kesetaraan jender dan stereotip jender dalam peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis, serta mempertimbangkan penerapan konvensi ataupun perjanjian internasional terkait kesetaraan jender.
Data Komisi Nasional Perempuan pada 2017 menunjukkan, terjadi 348.446 kekerasan terhadap perempuan. Jumlah ini meningkat dari tahun 2016, yaitu 259.150 kekerasan. Dari data itu, kekerasan dalam rumah tangga adalah kasus yang paling menonjol, yaitu 9.609 kasus. Sebesar 41 persen merupakan kekerasan fisik, 31 persen kekerasan seksual, 15 persen kekerasan psikis, dan 13 persen kekerasan ekonomi.
Pengurus Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Ratna Batara Munti menilai, berbagai masalah dijumpai oleh perempuan berhadapan dengan hukum. Perempuan yang menjadi korban sering mengalami reviktimasi (menambah beban baru bagi korban) dalam proses hukum.
”Banyak kasus perempuan korban kasus kekerasan seksual atau fisik justru ditahan atau dipenjara. Selain itu, akses perempuan terhadap keadilan juga belum terpenuhi, terutama terkait bantuan hukum dan pendampingan bagi perempuan korban yang minim,” katanya.
Ketua Pusat Studi dan Kajian Migrasi Migraint Care Anis Hidayah menyatakan hal serupa. Akses atas keadilan yang minim juga terjadi pada buruh migran perempuan. Adapun isu utama terkait akses keadilan bagi korban, yaitu viktimisasi kepada korban oleh pemerintah negara lain dan aparat penegak hukum.
”Mayoritas pembantu rumah tangga migran yang dieksekusi mati di Arab Saudi, misalnya, adalah korban kekerasan seksual majikannya. Sementara akses informasi terhadap kasus yang didapatkan oleh keluarga sangat terbatas,” ujarnya.
Menurut Ratna, banyak hal yang perlu didorong dalam rangka pemenuhan keadilan bagi perempuan berhadapan hukum. Hal yang paling utama adalah adanya sistem peradilan yang terpadu, mulai dari tata cara pemeriksaan korban yang sensitif jender hingga putusan yang berperspektif jender.
Implementasi Perma Nomor 3/2017, katanya, belum maksimal. Masih banyak putusan hakim yang masih timpang dengan peraturan tersebut. Selain itu, lembaga aparat penegak hukum lain juga perlu memiliki peraturan serupa agar komitmen untuk menegakkan keadilan bagi perempuan berhadapan dengan hukum bisa berjalan beriringan.