Humas Harus Memahami Kultur dan Karakteristik Media Sosial
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kehadiran media berbasis digital telah mengubah kebiasaan publik dalam mengakses informasi. Siapa pun bisa menyebarkan informasi sekaligus mendapatkan umpan balik dalam waktu cepat. Pemanfaatan platform media digital yang masif oleh publik mendorong praktisi kehumasan beradaptasi ke media baru tersebut dengan berbagai manfaat dan masalahnya.
"Kami sekarang, mau tidak mau, sering ikut memberitakan peristiwa yang viral di media sosial," ujar Stanislaus Andri, staf produksi berita televisi swasta, yang ditemui seusai kelas kehumasan yang diselenggarakan Kompas Institute, di Gedung Kompas, Jakarta, Rabu (28/11/2018).
Menurutnya, cara tersebut turut membantu mereka menarik perhatian publik untuk menonton tayangan mereka. Namun di sisi lain, ia menilai bahwa informasi peristiwa yang diminati publik melalui media sosial saat ini kerap menyalahi etika atau tidak selalu memberi manfaat positif.
Untuk mengatasi hal tersebut, kata Social Media Vice Manager Harian Kompas Didit Putra Erlangga, humas harus mampu membedakan mana voice (suara kebenaran) dan noise (kebisingan). Kesalahan dalam pengambilan dan penyiaran ulang informasi justru bisa menjadi bumerang bagi penyampai informasi.
"Dunia internet atau digital ini istilahnya membuat kita telanjang. Orang dengan mudah bisa memverifikasi data dan bisa mengecek informasi dari sumber lain," kata Didit yang menjadi salah satu narasumber dalam pelatihan tersebut.
Dengan demikian, eksistensi media baru seperti media sosial tidak bisa dianggap ideal untuk penyampaian informasi, kata Wartawan Ekonomi Harian Kompas Andreas Maryoto, yang juga menjadi pembicara pada pelatihan tersebut.
Kultur cepat yang diciptakan media berbasis internet atau digital, menurutnya, tidak bisa mengalahkan manfaaat verifikasi fakta yang menjadi pakem pemberitaan di media konvensional.
"Setidaknya, media konvensional masih harus menjalankan standar itu dan bisa membuat berita yang lebih mendalam. Di media ini ada ekosistem yang secara historis terbukti standar pengelolaan informasinya, misalnya kalau salah, Dewan Pers bisa menegur media," tuturnya.
Laporan studi media Nielsen di Indonesia awal Februari 2018 menunjukkan, media konvensional seperti televisi, radio, dan cetak masih dinikmati dan dijadikan referensi untuk mendapatkan informasi.
Lebih dari 90 persen masyarakat lintas generasi masih menikmati televisi. Sekitar 30 persen di antaranya juga masih mendengar radio. Demikian juga dengan media cetak yang masih dibaca 4 persen generasi Z atau generasi berusia 10-19 tahun.
Sementara itu, jumlah waktu yang dihabiskan masyarakat Indonesia untuk mengakses media digital terus meningkat. Penonton televisi yang mengakses internet mencapai 42 persen. Pembaca media cetak yang mengakses internet bahkan mencapai 71 persen.
Dalam tiga tahun terakhir, durasi menghabiskan waktu di media digital meningkat dari 1 jam 52 menit pada 2014,menjadi 3 jam 8 menit pada 2017.
Krisis komunikasi
Namun demikian, baik praktisi humas maupun media harus beradaptasi dengan kemajuan teknologi digital. Kegagapan dalam mengikuti perkembangan teknologi tersebut memicu krisis komunikasi yang kini banyak terjadi.
"Risiko komunikasi makin banyak jenisnya karena derasnya informasi dari teknologi yang bermunculan. Dulu orang menunggu berita hanya dari televisi, radio, atau koran besok. Tetapi sekarang media sosial mempermudah penyebarannya," kata Andreas.
Menurutnya, hal tersebut bisa diatasi tidak hanya dengan mempelajari teknologi yang ada, tetapi juga memahami kultur yang dibentuk. Pamahaman tersebut penting dilakukan perusahaan yang saat ini mulai beralih menerapkan teknologi digital.
"Kalau perusahaan buat akun di media sosial, otomatis akan ada kultur interaksi baru di media sosial tersebut. Oleh karena itu, perusahaan harus menyiapkan sumber daya manusianya juga. Jangan sampai ada warga yang mengeluhkan hal penting di media sosial tapi tidak ada yang memonitor sehingga kepercayaan berkurang," pesannya.
Praktisi kehumasan juga perlu mempelajari demografi dan karakteristik media sosial atau media digital lainnya yang dimanfaatkan untuk penyebaran informasi, Didit menambahkan. Sebagai contoh, Instagram lebih cocok menyajikan konten visual untuk pengguna berusia muda. Sementara, Facebook dapat menyajikan beragam konten untuk pengguna lebih tua.
"Penyampaian informasi melalui beragam bentuk media digital harus bisa menyesuaikan target penerima. Sama seperti bagaimana kita komunikasi langsung melalui tatap muka, ada lapisan-lapisan yang harus kita sesuaikan," pungkasnya. (ERIKA KURNIA)