Guru Membaca Nyaring Bisa Tingkatkan Literasi Siswa
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Membaca secara nyaring setiap hari di kelas, baik di pagi hari maupun di sela-sela waktu belajar, mampu menambah kemampuan literasi siswa TK dan SD. Kegiatan ini hendaknya diikuti dengan pertanyaan-pertanyaan reflektif yang memicu kreativitas serta daya nalar mereka.
"Kegiatan guru membacakan cerita dengan nyaring dimulai dari TK dan dilanjutkan hingga kelas VI SD," kata Roosie Setiawan, pendiri Readers\' Bugs, sebuah komunitas membacakan nyaring, pada acara diskusi mengenai menggunakan literatur sebagai dasar pembelajaran siswa di Jakarta, Selasa (27/11/2018).
Melalui cara tersebut, siswa bisa mendengar dan melihat pelafalan kata, nada bicara, jeda, dan ekspresi guru ketika membacakan cerita. Hal-hal tersebut akan tertanam di benak siswa sebagai cara membaca yang benar. Pengenalan kegiatan ini bisa dilakukan dengan cara melakukannya selama 15 menit sebelum pelajaran di mulai, seperti yang dianjurkan oleh program literasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).
Roosie mengatakan, di kelas IV, siswa sudah terbiasa dibacakan guru. Mereka boleh mulai belajar membaca mandiri. "Caranya selang-seling. Satu hari masih dibacakan oleh guru, lalu pada hari lain siswa bebas membaca materi pilihan sendiri di luar buku pelajaran. Tugas guru di hari siswa membaca mandiri ialah mendampingi mereka. Metode ini berlanjut hingga kelas VI," tuturnya.
Ia mengatakan, pada Oktober, Kemdikbud meluncurkan panduan membaca berjenjang yang dibagi menjadi tujuh tahap. Jenjang tersebut adalah pra-membaca (0-3 tahun) dan membaca dini (3-6 tahun) yang menggunakan buku bergambar dengan sedikit kata.
Hal itu dilanjutkan dengan jenjang membaca awal (6-9 tahun) dan membaca lancar (9-12 tahun) menggunakan novel-novel anak yang dibagi menjadi bab-bab ringkas dan diselipi gambar. Tahap berikutnya adalah membaca lanjut (12-15 tahun) dan membaca mahir (15-18 tahun) yang menggunakan novel remaja serta perkenalan kepada karya sastra.
Level paling akhir, yaitu untuk usia 18 tahun ke atas ialah membaca kritis. Pada usia ini pembaca sudah mampu untuk mencerna tulisan-tulisan ilmiah, filsafat, dan karya sastra tingkat lanjut.
Reflektif
Salah satu SD yang menerapkan membacakan buku secara nyaring adalah Sekolah Kembang di Jakarta Selatan. Kepala Bidang Literasi Sekar Ayu Adhaningrum mengatakan, para wali kelas rutin berkoordinasi mengenai bahan bacaan yang diberikan kepada siswa. Tujuannya agar kemampuan yang diajar berkesinambungan ketika naik kelas.
Materi bacaan selain novel dan cerpen adalah artikel dari media arus utama, ensiklopedi, biografi tokoh, dan komik. Semua disesuaikan dengan tingkat kelas. "Semua materi harus berbahasa Indonesia karena ketika siswa kadar literasi dalam bahasa nasional mumpuni, mereka mudah belajar literatur dalam bahasa asing," katanya.
Setiap selesai membaca satu bab, guru selalu memberi pertanyaan reflektif terkait tokoh dan alur cerita. Guru tidak boleh langsung memberi pernyataan yang menghakimi seperti "pokoknya kalian tidak boleh seperti tokoh cerita ini karena ia jahat".
Sekar mengatakan, beri siswa pertanyaan yang mengajak mereka berpikir lanjut, misalnya "apakah kamu setuju dengan perbuatannya? Kenapa?", "pernahkah kamu mengalami hal serupa? Apa yang akan kamu perbuat kalau mengalaminya?", atau bisa juga "menurutmu, sebaiknya bagaimana tokoh itu harus bertindak?"
"Siswa dibebaskan memberi jawaban karena tidak ada yang salah. Tugas guru meluruskan situasi apabila siswa mengucapkan sentimen diskriminatif terhadap suatu kelompok etnis, ras, agama, dan golongan," ujar Sekar. Tidak lupa siswa selalu diberi tugas menulis ringkasan hal yang baru ia baca.
Kepala Perpustakaan Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Seni dan Budaya Yogyakarta Sri Endang Yektiningsih yang mengikuti diskusi itu mengatakan, pihaknya memiliki berbagai bacaan untuk siswa yang bisa diakses oleh sekolah.