Kekerasan Terhadap Perempuan di Dunia Maya Meningkat
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Laporan kekerasan di ranah dunia maya yang diterima Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan meningkat. Tahun ini, sejak Februari 208, jumlah pengaduan kekerasan di dunia maya yang diterima Komnas Perempuan hampir 100 kasus, tahun 2017 sebanyak 65 kasus.
"Bentuk laporan terbanyak adalah distribusi foto pribadi sebagai bentuk ancaman oleh pihak pelaku," kata Mariana Amiruddin, Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, dalam konferensi pers Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan di kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Jumat (23/11/2018).
Bentuk laporan terbanyak adalah distribusi foto pribadi sebagai bentuk ancaman oleh pihak pelaku.
Setidaknya ada delapan jenis kekerasan di dunia maya yang diklarifikasi Komnas Perempuan, antara lain pendekatan untuk memperdaya, pengiriman teks untuk menakuti atau mengancam, peretasan, konten ilegal, pelanggaran privasi. Ada juga ancaman melalui distribusi konten pribadi, pencemaran nama baik, dan rekrutmen dalam jaringan (daring) dengan tujuan eksploitasi.
Bentuk kekerasan yang dilaporkan terjadi di berbagai platform, mulai dari media sosial hingga situs kencan daring. Sebagian besar kekerasan masih dilakukan orang terdekat korban, seperti pacar, mantan pacar, atau suami. Namun, luasnya akses dan ranah dunia maya memungkinkan pihak lain menjadi pelaku kekerasan, seperti kolega, sopir transportasi daring, bahkan orang yang belum dikenal sebelumnya.
Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu mengatakan, korban umumnya berasal dari Jabodetabek atau kota-kota besar di Indonesia. "Hal ini menunjukkan kejahatan di dunia maya bukan bentuk biasa dari kekerasan terhadap perempuan, namun juga kejahatan transnasional yang membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah," ucapnya.
Kejahatan di dunia maya bukan bentuk biasa dari kekerasan terhadap perempuan, namun juga kejahatan transnasional yang membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah.
Untuk mengantisipasi bentuk ancaman atau kekerasan, baik di ranah publik maupun pribadi, termasuk di dunia maya, perempuan perlu memiliki kemampuan memvalidasi bentuk kekerasan. Dari banyaknya kasus yang ditangani Komnas Perempuan, bentuk kekerasan tidak hanya terkait fisik, tetapi juga kekerasan psikis, termasuk kekerasan ekonomi dalam rumah tangga.
"Bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual, belum terlalu dikenal baik padahal ini banyak muncul di keseharian. Kekerasan secara verbal, misalnya, ketika sudah membudaya sering dianggap kewajaran dan mereka akan menyangkal. Di sini, perempuan perlu mampu memvalidasi apakah ketidaknyamanan yang dialami kekerasan atau bukan," tutur Azriana.
Kekosongan hukum
Kekerasan di dunia maya bukan satu-satunya bentuk kekerasan yang meningkat hingga saat ini. Berbasis catatan tahunan sejak 2001, Komnas Perempuan menemukan bahwa ada 35 perempuan Indonesia yang menjadi korban kekerasan seksual per hari.
Dalam sehari, sebanyak 35 perempuan Indonesia yang menjadi korban kekerasan seksual.
Berdasarkan fakta tersebut, Komnas Perempuan menuntut pemerintah segera membahas dan mengesahkan peraturan yang kini masih menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual.
"Kalau kita mau membicarakan kasus kekerasan terhadap perempuan ini ke arah keadilan, maka mekanismenya harus lewat hukum. Tetapi, saat ini sedang ada kekosongan hukum dalam hal penanganan kekerasan seksual," kata Valentina Sagala dari Jaringan Kerja Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Pro Perempuan.
Selama ini, penanganan kasus kekerasan seksual hanya berpegang pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang tidak relevan. Sebagai contoh, penanganan kasus pemerkosaan kerap memakai KUHP tentang kesusilaan.
"Sebagai contoh kasus pemerkosaan, diatur dengan KUHP yang mengatur pencabulan dan mewajibkan adanya senggama. Padahal kekerasan seksual lebih dari itu. Upaya pemerkosaan yang sudah ada pemaksaan, walau belum ada kontak fisik, juga termasuk kekerasan seksual," ujarnya.
Peraturan untuk mengatur tindak kekerasan seksual sayangnya masih menjadi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual inisiatif DPR sejak Februari 2017. "Sampai saat ini DPR belum membahas pasal per pasal. Panitia Kerja RUU terkait masih berkutat di Rapat Dengar Pendapat Umum yang melibatkan pihak-pihak yang tidak memiliki perspektif dan keberpihakan pada korban kekerasan seksual," lanjut Valentina.
Jika RUU Penghapusan Kekerasan Seksual berhasil disahkan, maka akan lahir undang-undang yang secara komprehensif mengatur upaya pencegahan hingga penanganan yang terintegrasi dalam satu pintu, termasuk untuk pemulihan korban. Ini juga akan mengatur beragam bentuk kekerasan seksual.
Sedikitnya, ada sembilan jenis kekerasan seksual yang akan diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Sedikitnya, ada sembilan jenis kekerasan seksual yang akan diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan pelacuran, penyiksaan seksual, pemaksaan perkawinan, dan perbudakan seksual.
Untuk mendorong pemerintah segera mengesahkan undang-undang tersebut, Komnas Perempuan bersama organisasi masyarakat sipil akan mengadakan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada 25 November hingga 10 Desember 2018.
Adapun agenda kampanye tahun ini yang bertema "Kekerasan Seksual sebagai Kekerasan Kemanusiaan" antar lain: konferensi pers dan diskusi publik, festival film, lokakarya antikekerasan terhadap perempuan, dan karnaval budaya.