YOGYAKARTA, KOMPAS — Kegiatan tahunan Borobudur Writers & Cultural Festival ketujuh dengan tema ”Membaca Ulang Catatan Harian Pelawat Asing ke Nusantara” resmi dibuka dengan peluncuran sembilan buku dalam dua sesi, Kamis (22/11/2018) malam di Yogyakarta. Buku-buku yang dibedah masing-masing menawarkan bagaimana identitas kultural Nusantara.
Persis setelah kurator Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2018 Romo Mudji Sutrisno SJ membuka acara, moderator sesi pertama peluncuran buku, Triana Wulandari, yang juga Direktur Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, langsung mengundang lima pembahas.
Kelima pembicara itu adalah ahli sutra-sutra atau teks suci Buddhis, Salim Lee, yang membahas buku Yijing: Kiriman Catatan Praktik Buddhadarma dari Laut Selatan, sejarawan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Prof Djoko Suryo yang mengulas buku Indonesia di Mata India(Kala Tagore Melawat Nusantara), Prof Tan Ta Sen dengan buku Cheng Ho: Penyebar Islam dari China ke Nusantara yang diangkat dari disertasinya di Universitas Indonesia, filolog UGM Sri Margana yang meneropong Buku Suma Oriental karya Tomi Pires, dan sejarawan ahli Batavia Mona Lohanda yang membahas buku Painting and Discription of Batavia in Heydt’s book of 1744.
Buku Yijing: Kiriman Catatan Praktik Budhadharma dari Laut Selatan disusun oleh sarjana Buddhis dari Jepang, J Takakusu. Buku ini menarik karena menceritakan tentang pengalaman Yijing ketika tinggal di Shili Foshi yang tak lain adalah Sumatera. Di Sumatera, ia mempelajari teks-teks suci Buddhis dalam bahasa Sanskerta dan Pali.
”Di sini, kita merasakan bagaimana kekayaan kita akan filsuf-filsuf Buddhis, nenek moyang kita semua. Kita masih bisa merasakan getaran-getarannya, seperti dikatakan Romo Mudji. Filosofi-filosofi agama yang berkembang saat itu kini sudah menjadi kearifan lokal. Kalau kita gali lagi, akan semakin banyak ditemukan,” tutur Salim Lee.
Mudji menambahkan, dari kumpulan surat-surat I Tsing (Yijing) kita diberi kesempatan membayangkan bagaimana situasi Shili Foshi (diperkirakan Jambi) di tahun 671 saat I Tsing berusia 37 tahun singgah belajar di Sabdavidya selama enam bulan sebelum berangkat ke Nalanda, India.
Sementara itu, buku Indonesia di Mata India (Kala Tagore Melawat Nusantara) merupakan rangkuman dari terjemahan surat-surat Tagore mengenai Jawa dan Bali. Ketika Tagore singgah di Keraton Mangkunegaran Solo, misalnya, ia menulis bahwa, secara agama, mereka (orang-orang Keraton Mangkunegaran) sesungguhnya orang Muslim, tetapi mereka paham benar seluk-beluk dewa-dewi Hindu. ”Mereka telah merangkul semua berkas kuno narasi-narasi India,” kata Tagore.
Empat buku
Setelah diluncurkan lima buku pada sesi pertama, selepas makan malam masih ada empat buku lagi yang diluncurkan, yaitu novel Kura-kura Berjanggut yang disampaikan langsung oleh pengarangnya, sastrawan Aceh Azhari Aiyub, buku Islamisasi Bugis karya Andi Muhammad Akhmar, buku Gunung Kidulan karya ’wonggunung’ karya anonim yang dibedah budayawan Solo, Halim HD, dan buku Napak Tilas Perjalanan Dang Hyang Nirata di Bali yang merupakan buku perjalanan fotografer I Gusti Dibal Ranuh.
Keempat buku di atas masing-masing mengupas sejarah dan identitas-identitas lokal masyarakat Bali, Bugis, Gunung Kidul (sebuah kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta), dan imajinasi tentang Lamuri, Malaka, serta Sumatera pada kisaran abad ke-17 saat pelaut-pelaut Portugis dan Spanyol singgah ke sana.
Penasihat BWCF 2018 Prof Toeti Herati Noerhadi mengungkapkan, BWCF mencoba mengentalkan dan menemukan kembali identitas-identitas kultural masyarakat Nusantara. Identitas-identitas tersebut tampak kuat dalam catatan-catatan yang dibuat para pelawat asing yang pernah singgah di berbagai wilayah Nusantara.