JAKARTA, KOMPAS — Perlu kerja sama semua pihak mewujudkan pendidikan inklusif di perguruan tinggi agar penyandang disabilitas tidak menjadi beban demografi tahun 2045. Selain mewajibkan perguruan tinggi membentuk layanan disabilitas, juga perlu dirancang metode pengajaran dan pembelajaran yang efektif.
Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menjamin bahwa setiap lembaga atau institusi membentuk unit layanan disabilitas. Unit tersebut berfungsi sebagai penyedia layanan dan fasilitas untuk penyandang disabilitas.
Uwes Anis Chairuman, Kasubdit Pendidikan Khusus Ditjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristek dan Dikti, Kamis (15/11/2018) di Jakarta, mengatakan, persoalan terkait pendidikan inklusif tidak sederhana karena cakupan tentang penyandang disabilitas sangat beragam. Disabilitas mencakup setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan sensorik.
”Cakupan yang luas tersebut memerlukan penanganan yang berbeda-beda dalam pendidikan. Perlu kerja sama semua pemangku kepentingan agar mereka memperoleh pendidikan inklusif, salah satunya di perguruan tinggi sehingga terpenuhi hak-haknya,” ucap Uwes, dalam Seminar Pembelajaran Teknik Informatika untuk Tunanetra.
Sejak tahun 2017 telah dilakukan sosialisasi dan pendampingan tentang unit layanan disabilitas. Sosialisasi dilakukan sesuai kopertis atau pembagian wilayah perguruan tinggi, sedangkan pendampingan dilakukan dengan menggandeng pegiat disabilitas agar mampu memengaruhi pengambil keputusan dalam mempercepat proses pendidikan inklusif.
”Upaya tersebut perlu ditingkatkan lagi. Perlu strategi pendampingan dan melihat dari sisi disabilitas dan pendamping yang akan membantu ketika proses menempuh pendidikan. Semuanya membutuhkan waktu yang tidak singkat. Namun, kita harus mulai untuk memperjuangkan hal ini,” katanya.
Sebanyak 16 perguruan tinggi telah memasukkan mata kuliah pendidikan inklusif ke dalam kurikulum. Bahkan, sudah ada yang menerapkan deteksi dini disabilitas sehingga mahasiswanya mendapat perlakuan khusus sejak awal. Perguruan tinggi juga didorong untuk mengembangkan model pengajaran dan pembelajaran yang efektif bagi penyandang disabilitas.
Butuh proses
Banyak tantangan dan hambatan dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif. Itu antara lain metode pengajaran dan pembelajaran yang efektif.
Salah satu perguruan tinggi yang telah mencoba mengembangkan hal tersebut adalah Universitas Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, dengan memfasilitasi penyandang tunanetra berkuliah pada jurusan Teknik Informatika.
Ahmad Fikri Zulfikar, Ketua Program Studi Teknik Informatika, mengatakan, pihaknya sejak tahun 2017 telah menerima tiga mahasiswa tunanetra. Banyak penyesuaian yang dilakukan sejak penerimaan hingga sekarang. Penyesuaian tersebut, antara lain, bahan ajar yang dicetak menggunakan huruf Braille sejak awal perkuliahan, penggunaan peranti lunak NVDA untuk membantu penyandang tunanetra membaca layar, serta pengenalan lingkungan kampus.
”Semua butuh proses dan tidak mudah. Kami bekerja sama dengan pegiat disabilitas untuk mencetak bahan ajar ke dalam bentuk Braille. Peranti penunjang juga penting untuk memudahkan proses belajar. Dukungan lingkungan, dosen dan mahasiswa turut membantu mereka,” ucapnya.
Selain itu, juga tengah dikembangkan bentuk-bentuk bangun ruang yang dicetak menggunakan printer tiga dimensi. Hal tersebut diperlukan untuk simulasi agar mereka mudah memahami pengajaran.
Aria Indrawati, Ketua Umum DPP Persatuan Tunanetra Indonesia, mengatakan, bukan hanya penyandang tunanetra yang terkendala metode pengajaran dan pembelajaran yang inklusif. Peran dari penyandang disabilitas, perguruan tinggi, pemerintah, dan lingkungan sangat penting.
”Kita harus membangun komunikasi agar saling mengetahui kebutuhan masing-masing. Melalui komunikasi, kita saling beradaptasi atau menyesuaikan kebutuhan. Tentu tidak mudah, tetapi mari memulai dan mendukung upaya mewujudkan pendidikan inklusif,” ujarnya. (FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY)