DEPOK, KOMPAS — Filsafat sebagai sebuah ilmu terapan masih belum banyak disentuh. Padahal, filsafat merupakan penghubung dari berbagai disiplin ilmu dan juga kunci dari pembelajaran tata cara bermasyarakat serta berdemokrasi.
"Filsafat kehilangan makna ketika para filsuf dan pengajar filsafat sibuk berjibaku dengan teori. Mereka melupakan bahwa filsafat harus dipertemukan dengan masyarakat, dengan orang-orang," kata Guru Besar Filsafat dan Pendidikan Tinggi Universitas Osaka, Jepang, Toru Mochizuki ketika memberi kuliah umum di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Senin (12/11/2018).
Mochizuki menerangkan, cara mengajar filsafat adalah dengan mempraktikkannya. Sejatinya, filsafat mengembangkan ilmu, keterampilan, dan perilaku. Perilaku merupakan penentu seseorang menavigasikan diri di masyarakat. Perilaku pula yang menjadi kunci di dalam mengembangkan pendidikan dan memahami demokrasi, yaitu mengetahui dan mempraktikkan kebebasan seseorang berekspresi dalam jalur yang positif.
"Disposisi karakter ini menantang individu untuk menjadi diri sendiri sekaligus melakukan hal-hal yang mereka anggap bernilai di dalam kehidupan," tuturnya. Disposisi karakter dan perilaku ini tidak bisa diajarkan, melainkan dibudayakan dengan melatih cara berpikir kritis sedari awal.
Ia mencontohkan kegiatan yang ia lakukan untuk mengembangkan filsafat di Kamboja. Selepas perang saudara, negara tersebut memiliki krisis identitas. Ditambah lagi kurangnya materi pengajaran dalam bahasa Khmer (bahasa lokal) karena bahan ajar yang ada merupakan sisa-sisa dari zaman kolonial Perancis.
Intervensi yang dilakukan ialah melakukan pendidikan filsafat kepada generasi muda, termasuk anak-anak. Nilai falsafah Khmer disarikan dari berbagai sumber seperti tata bahasa, etika sosial, praktik agama, dan cerita-cerita dongeng. Hal ini yang kemudian diulas bersama untuk dirumuskan menjadi falsafah dan karakteristik bangsa Kamboja.
Konseling filsafat
Selain itu, Mochizuki juga mengulas tentang konseling filsafat. Berbeda dengan konseling psikologis yang hubungan antara terapis dan pasien bersifat relasi kuasa, konseling filsafat memiliki relasi setara.
"Hubungan terapis-pasien tidak setara karena pasien adalah orang sakit yang membutuhkan bantuan dokter. Demikian pula hubungan guru-murid yang menempatkan murid pada posisi membutuhkan bimbingan guru. Dalam konseling filsafat, pendekatan yang dilakukan berupa dialogis untuk memahami jalan pikiran serta sudut pandang kedua belah pihak tanpa bersifat menghakimi sehingga perubahan pola pikir dilakukan dengan kesadaran penuh," jelas Mochizuki.
Dosen Filsafat Politik UI Donny Gahral Adrian seusai kuliah mengatakan, konseling filsafat bisa diterapkan di Indonesia untuk membantu menyelesaikan berbagai permasalahan di masyarakat, salah satu contohnya adalah ekstremisme. Pendekatan yang dilakukan tidak lagi berupa benar-salah, melainkan mendiskusikan falsafah keindonesiaan secara jernih.
Ia menerangkan, bangsa Indonesia semenjak ribuan tahun lalu sudah memiliki masyarakat majemuk dari berbagai suku bangsa, ras, dan agama. Indonesia berbeda dari negara-negara lain yang masyarakatnya homogen dan baru mengenal kemajemukan dengan kedatangan imigran akibat konflik maupun krisis ekonomi.
"Dalam konseling filsafat dengan penganut paham ekstrem, buka dialog mengenai falsafah Nusantara. Kemudian dengarkan juga landasan falsafah lawan bicara dan diskusikan berdasarkan fakta. Konseling filsafat merupakan debat intelektual yang tidak bermaksud menyudutkan lawan, tetapi mengajak lawan melihat persoalan dari persepsi kita," paparnya.