Pertengahan bulan lalu, di Yogyakarta dan Cilacap terjadi peristiwa mencemaskan. Di Pantai Baru, Bantul sekelompok orang tiba-tiba merusak perlengkapan ritual sedekah laut, sementara di Cilacap beredar spanduk bernada kecaman terhadap tradisi sedekah laut.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, sekonyong-konyong muncul pihak yang mencoba membenturkan antara ekspresi spiritual dengan ekspresi kultural. Fakta ini sangat mengherankan karena ekspresi kultural semestinya menjadi bagian tak terpisahkan dari ekspresi spiritual.
Budayawan Radhar Panca Dahana mengatakan, konflik antara ekspresi spiritual dengan ekspresi budaya tidak pernah terjadi dalam riwayat bangsa ini karena keduanya merupakan satu kesatuan integral. "Ternyata, kita hidup dalam kenyataan yang kontradiktif," ucapnya di sela Sarasehan Agamawan dan Budayawan dengan tema “Reaktualisasi Relasi Agama dan Budaya di Indonesia” yang digelar Kementerian Agama di Bantul, Yogyakarta pekan lalu.
Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Amin Abdullah menyebut aksi kekerasan terhadap tradisi sedekah laut di Bantul bulan lalu sebagai disrupsi atau perubahan mendasar pemahaman tentang agama. “Agama dan budaya ibarat mata uang, ada (sisi) depan dan belakang. Tidak ada agama tanpa budaya, begitu juga tidak ada budaya tanpa unsur spiritualitas agama. Agama dan budaya itu lengket betul, tapi mengapa sekarang diotak-atik?,” kata Amin.
Lalui Proses Panjang
Sejarah membuktikan, agama-agama yang berkembang di tanah air sudah melalui proses yang panjang bersinggungan dengan budaya-budaya setempat. Namun demikian, belakangan muncul keinginan dari kelompok-kelompok tertentu yang ingin menghadapkan keduanya secara dikotomis dan berbenturan.
Bahkan, karena upaya pembenturan tersebut, di beberapa tempat sampai terjadi aksi kekerasan secara kolektif. Sebuah pertanyaan besar akhirnya dilontarkan dalam sarasehan di Bantul...apakah perjalanan bangsa ini harus dibiarkan bergulir dengan cara dan arah seperti itu?
"Masalah ini harus kita sikapi bersama. Karena, agama dan budaya merupakan kekuatan dan modal utama bangsa ini. Kita sangat khas, memiliki corak budaya yang sangat beragam dan juga dikenal sebagai masyarakat yang sangat religius. Relasi agama dan budaya dalam konteks Indonesia bisa dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan," ucap Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.
Menyikapi persoalan ini, para agamawan dan budayawan sepakat untuk menciptakan perubahan. Langkah perubahan dilakukan salah satunya melalui jalur pendidikan, baik umum maupun agama, formal maupun non-formal dengan memposisikan kembali orang tua sebagai pengajar awal anak melalui pelbagai produk-produk kebudayaan, seperti sastra, teater, tari, seni rupa, juga adat istiadat.
Selain itu, mereka juga sepakat untuk menghindarkan agama dan budaya dari diksi, semantika, atau retorika yang statis, intoleran, terlalu berpihak, atau teologi yang bertentangan dengan aktualitas, fakta, serta sejarah bangsa.