JAKARTA, KOMPAS—Gerakan Pramuka dinilai bisa menjadi pionir untuk mengimplementasikan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Nilai luhur yang termaktub dalam pendidikan karakter ini diharapkan bisa membentengi generasi milenial di tengah riuhnya era digital.
Ini menjadi salah satu tujuan diadakannya Kemah Penguatan Karakter (Kepak) 2018 Tingkat Nasional di Bumi Perkemahan Pramuka Cibubur, Jakarta Timur, Senin (5/11/2018). Acara ini dihelat dari 4-9 November 2018.
Lurah Kepak 2018 Yusak Manitis Susarjono mengatakan, pendidikan karakter yang akan diterapkan dalam kegiatan ini, antara lain religiositas, nasionalisme, integritas, gotong royong dan kemandirian. Acara ini diikuti 340 anggota pramuka tingkat penegak (usia 16-20) dari seluruh Indonesia.
Sesuai dengan filosofinya, penegak merujuk pada peristiwa historis pada era proklamasi kemerdekaan 1945 yang mendirikan bangsa Indonesia.
“Dengan kata lain, mereka diharapkan menjadi urutan terdepan dalam menegakkan nilai-nilai luhur budaya bangsa,” kata dia.
Hal itu diimplementasikan dalam proses kegiatan yang berlangsung hingga Jumat mendatang ini. “Setiap pagi, dimulai dengan aktivitas ibadah. Masing-masing peserta beribadah dengan keyakinannya masing-masing. Kalau ada di antara peserta yang tidak ikut, kami akan berdialog dengan peserta itu. Akan tetapi tidak ada unsur paksaan, sebab walau bagaimanapun, praktik beragama terkait dengan hak asasi,” kata Yusak. Ini sekaligus mengajarkan pentingnya dialog kepada setiap peserta.
Untuk teknis perkemahan, masing-masing peserta dibagi dalam tenda-tenda yang terdiri dari 18 sampai 20 orang. Anggota kelompok tidak boleh berasal dari provinsi yang sama.
Pada Senin siang, di Aula Cut Nyak Dhien, perwakilan kelompok diminta untuk menyebutkan nama kelompok masing-masing. Sebagian peserta dapat menghafal nama kelompoknya, namun ada juga yang belum bisa mengingat nama kawan kelompok.
Kepala Subdirektorat Peserta Didik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Juanda Nicsyah mengatakan, generasi milenial Indonesia sedang menghadapi sejumlah persoalan sosial. Ada yang terjerumus menjadi pengguna narkoba, terlibat perkelahian antarpelajar, perundungan, dan pornografi. Oleh sebab itu, penanaman karakter yang mengandung nilai-nilai luhur penting untuk terus diingatkan.
Walau bagaimana pun, kata Juanda, peserta Kepak adalah anak zaman. Secara individu, tidak ada yang bisa mengelak dari perkembangan teknologi.
“Ada akses informasi yang tidak terbatas yang tersedia di gawai mereka. Pertanyaannya, akses itu digunakan untuk apa saja? Harapannya, karakter yang berasal dari nilai luhur bangsa bisa membantu mereka agar memanfaatkan teknologi supaya lebih bermanfaat, ” kata Juanda.
Dalam forum ini, diadakan simulasi tentang boleh atau tidaknya membawa gawai ke sekolah. Peserta dibagi dua: pihak pro dan kontra. Mereka yang pro membawa gawai di sekolah mengatakan, gawai membantu proses pembelajaran. Sementara yang kontra mengatakan, gawai menyita waktu karena terlalu sering digunakan untuk main gim.
Berdasarkan buku panduan, materi kelas yang diberikan tergolong serius, antara lain penanggulangan radikalisme di sekolah dan ketahanan pangan.
Juanda menilai, materi itu penting untuk dipaparkan. Pramuka, kata dia, adalah organisasi yang terbiasa dengan disiplin. Mereka berperan untuk sebagai pionir untuk menyampaikan materi yang didapat di Kepak kemudian dipraktikkan di sekolah masing-masing.
Namun, metode penyampaian yang digunakan bisa disesuaikan agar tidak bosan.
Juanda, misalnya, lebih banyak menjelaskan materi dengan ilustrasi. Dia meminta peserta menutup mata dan mengangkat jari telunjuk. “Coba arahkan telunjuk adek-adek ke arah timur,” katanya.
Dalam forum, telunjuk peserta mengarah ke berbagai arah: ke depan, belakang, dan ke kiri. “Ini contoh tentang sejelas apa pun instruksi sebuah program, akan diterjemahkan dalam berbagai pandangan di tatanan pelaksanaan,” kata dia.
Virjinia Meta (15), peserta asal SMAN 1 Kawangkoan, Sulawesi Utara, mengatakan, pendidikan karakter dibutuhkan generasi muda. “Sekarang banyak hoaks yang beredar, paham radikalisme, dan teman-teman yang menggunakan narkoba. Kalau begini terus, generasi muda bisa hancur,” katanya.
Dia menilai, pendidikan berkarakter dibutuhkan agar generasi menjadi pribadi yang sopan dan toleran. “Kadang aku merasa sok serius, tetapi ini memang benar. Tidak perlu malu mengemukakan pendapat,” kata dia.
Mufitasari Rojib (17) asal SMAN 1 Imogiri, Yogyakarta, mengatakan, generasi muda harus bijak dalam menggunakan media sosial. “Kalau sedang bikin tugas, jangan buka instagram dulu,” kata dia. (INSAN ALFAJRI)