YOGYAKARTA, KOMPAS — Para peneliti Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta menemukan sisa rumah kayu yang telah tertimbun material vulkanik Gunung Sindoro di Situs Mataram Kuno Liyangan, Desa Purbasari, Ngadireja, Temanggung, Jawa Tengah. Rumah kayu tersebut diperkirakan berusia ribuan tahun.
Di sebuah kebun tembakau yang letaknya sekitar 120 meter di sisi barat atas Situs Liyangan, peneliti melakukan ekskavasi atau penggalian seluas 6 x 8 meter. Karena sebelumnya kawasan ini pernah ditambang oleh penduduk, maka hanya pada kedalaman beberapa sentimeter, mereka langsung menemukan hal unik berupa struktur rumah kayu.
Begitu digali sedikit demi sedikit, struktur rumah kayu tersebut semakin jelas terlihat, mulai dari bagian atapnya yang terbuat dari bambu dan ijuk, balok-balok kayu dengan tebal 15 x 20 sentimeter, serta papan-papan kayu besar dengan lebar 50 sentimeter dan ketebalan antara 6 hingga 12 sentimeter.
Seluruh struktur rumah kayu tersebut ditemukan dalam wujud arang. Para peneliti memperkirakan, ribuan tahun lalu erupsi Gunung Sindoro memuntahkan pasir panas yang membakar lahan pemukiman di sekitar Situs Liyangan. Saat terbakar, abu dan pasir vulkanik Sindoro langsung menutupi pemukiman sehingga rumah-rumah tersebut tertimbun dalam bentuk arang.
“Panjang total papan-papan kayu besar ini belum terungkap karena sebagian masih tertimbun material vulkanik. Ada 6 lembar papan yang kami temukan masih menempel di struktur balok-balok kayu. Di atasnya terdapat susunan bambu dan atap ijuk,” kata Sugeng Riyanto, Kepala Balar DIY, Selasa (30/10/2018) di sela-sela penelitiannya di Temanggung, Jateng. Mulai 18 Oktober hingga 2 November 2018 mendatang, Balar DIY melanjutkan penelitian di situs tersebut.
Dengan melihat ukurannya yang besar, Sugeng menduga bahwa pada zaman dahulu rumah ini memiliki peran yang sangat istimewa pada masanya. Keistimewaan rumah ini terletak pada ukuran balok kayu dan papannya yang besar. Kalaupun rumah ini dulu adalah tempat tinggal, maka orang yang mendiaminya diperkirakan adalah tokoh yang istimewa.
Sebelumnya, pada 2010 dan 2012 para peneliti Balar DIY juga pernah menemukan struktur rumah di Situs Liyangan. Namun, kondisinya sudah rusak dan tinggal tersisa bagian papan lantainya saja.
Sekitar abad ke-9
Pada kotak galian kedua yang berjarak sekitar 10 meter di atas rumah kayu itu, peneliti menemukan susunan talud dari batu-batu kali sepanjang 15 meter. Susunan talud tersebut posisinya lebih tinggi dari hunian rumah kayu yang diungkap para peneliti.
“Pada saat penggalian di titik kedua itu ditemukan guci keramik setengah utuh buatan China abad ke-9. Temuan ini penting karena bisa menjadi perkiraan awal bahwa keberadaan hunian ini diduga berasal dari abad tersebut,” terang Sugeng.
Untuk memastikan usia dari rumah tersebut, Balar DIY akan mengirimkan sampel arang dari rumah kayu yang ditemukan ke Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) di Jakarta. Nantinya, BATAN akan meneliti lebih rinci pertanggalan pasti usia rumah kayu itu.
Sementara itu, untuk mengetahui apa jenis kayu yang membentuk struktur rumah tersebut, Balar DIY juga mengirimkan sampel arang kayu ke Fakultas Kehutanan Univesitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kedua langkah kolaborasi itu akan semakin membantu upaya pengungkapan misteri masa lalu di lereng Gunung Sindoro, khususnya di Liyangan.
Sampai saat ini, areal Situs Liyangan yang berhasil diungkap mencapai empat hektar. Diperkirakan, luasan total Situs Liyangan mencapai 10-12 hektar.
Selain melakukan penelitian rutin, Balar DIY juga akan mengundang para pakar dari aneka macam disipin ilmu untuk mengungkap misteri Situs Liyangan. Satu hal menarik dari situs ini adalah, sejak awal mula penenelitian, Balar DIY belum pernah sekalipun menemukan kerangka manusia maupun hewan yang menjadi korban erupsi Gunung Sindoro pada periode Mataram Kuno.
“Ini menarik sekali. Kami menduga, para penghuni kawasan ini dahulu sudah menyingkir duluan sebelum erupsi besar menimbun Liyangan. Mereka sudah memiliki kesadaran tentang mitigasi bencana,” kata dia.
Selama ratusan tahun menghuni kawasan tersebut, sepertinya masyarakat Mataram Kuno di Liyangan sudah mempunyai pengalaman empirik untuk mengetahui gejala-gejala erupsi Gunung Sindoro. Dugaan ini diperkuat dengan penemuan beberapa pagar dan struktur talud batu yang pernah diperbaiki beberapa kali karena sebelumnya pernah rusak akibat erupsi.
Geolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Muh Fadhlan Syuaib Intan mengungkapkan, kompleks Liyangan yang diapit Kali Progo dan Kali Deres pernah mengalami beberapa kali erupsi kecil sebelum tertimbun. Erupsi Sindoro awalnya mengalir lewat dua sungai itu dan merusak sebagian talud Liyangan.
”Wilayah Liyangan yang sebenarnya bertekstur miring karena berada di lereng Sindoro dibuat berundak-undak oleh penghuni waktu itu. Sebagian talud penguat sempat rusak terkena erupsi, tetapi kemudian diperbaiki. Itu terlihat dari penggantian sebagian batu-batu andesit persegi dengan batu-batu bulat,” kata Fadhlan.
Batu breksi vulkanik sisa erupsi, bahkan dimanfaatkan penghuni Liyangan untuk membuat umpak di atas batur pendopo, bangunan terbuka dari kayu dan bambu. Sampai kemudian erupsi besar mengubur Liyangan.
Setelah terkubur material Sindoro selama berabad-abad, keberadaan kompleks permukiman Mataram Kuno Liyangan tak pernah terungkap. Baru pada 2008, situs itu ditemukan secara tidak sengaja oleh para penambang pasir dan batu.