JAKARTA, KOMPAS--Tiga film tari karya anak bangsa masuk daftar enam film terbaik pada malam penganugerahan Imajitari “Festival Film Tari Internasional” 2018. Karya yang dibuat dengan kolaborasi antara sutradara dan koreografer ini berhasil menyisihkan 44 film tari lain yang dibuat oleh sutradara dan koreografer dari berbagai negara.
Sekretaris Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta, Yola Yulfianti, mengatakan, film tari adalah ide atau gagasan seni yang diwujudkan ke dalam medium tubuh dan video. Kedua elemen ini harus saling melengkapi. Di panggung pertunjukan, tari dibahasakan lewat tubuh. Sementara di film tari, tarian memiliki dua bahasa, yakni bahasa tubuh dan visualisasi kamera.
“Dalam film tari, kedua hal Ini saling berinteraksi bersama-sama dan menjadi suatu ekspresi yang disebut sebagai film tari,” kata dia pada malam penganugerahaan Imajitari “Festival Film Tari Internasional” 2018, di Gedung Kesenian Jakarta, Kamis (25/10/2018).
Pada malam penganugerahaan ini, tiga film tari karya sutradara dan koreografer Indonesia masuk ke dalam enam film terbaik, yakni Another I karya sutradara sekaligus koreografer Kresna Kurnia Wijaya, serta Weaving Anteh dan Breathe karya sutradara Sammaria Simanjuntak yang bekerja sama dengan Koreografer Marintan Sirait. Sementara tiga film terbaik lainnya adalah karya sutradara dan koreografer asal Korea Selatan (Vestiges of Dissapear), Chile (Misoginy Pandora), dan Israel (Over a Low Flame). Para sutradara dan koreografer yang filmnya terpilih menjadi yang terbaik berhalangan hadir pada malam tersebut.
Film tari ini rata-rata berdurasi lima hingga sepuluh menit. Weaving Anteh menggambarkan tentang seorang perempuan yang sibuk berganti-ganti pakaian, lalu tiba-tiba terkurung dalam suatu ruangan. Dia berusaha untuk naik ke ruangan di atasnya. Sementara Breathe menampilkan sosok perempuan berjalan tanpa sepatu di jalanan yang gelap dan sesak.
Sammaria Simanjuntak mengatakan, Weaving Anteh berusaha mengkritik sikap hidup masyarakat yang konsumtif dalam berpakaian. Pada batas tertentu, konsumerisme ini akan menghasilkan limbah yang akan merugikan kehidupan masyarakat itu sendiri.
Sementara Breathe hendak menyoroti kehidupan perkotaan. “Film ini tentang kota dan jalanan yang semakin tak karuan dan membuat kita merasa sesak dan terasing,” kata Sammaria, saat dihubungi dari Jakarta.
Adapun film tari Another I menggambarkan tentang kebimbangan seorang pelayan kebersihan di suatu gedung pertunjukan ketika menemukan sebuah dompet. Pilihan untuk mengambil atau tidak sesuatu yang bukan haknya itu mengemuka lewat visual. Penari di film itu melihat bayangan dirinya yang lain di cermin. Diri yang di cermin menyarankan untuk mengambil dompet tersebut. Sepanjang film, dia menari bersamaan dengan bayangannya itu.
Ini merupakan salah satu kelebihan dari film tari. Kebimbangan si penari, secara visual tergambar melalui hadirnya diri yang lain dalam tarian itu.
Ketua Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta, Hartati mengatakan, festival ini bertujuan untuk memperkenalkan film tari kepada khalayak, khususnya kepada pada masyarakat pecinta seni pertunjukan.
Dalam festival ini, kata dia, terdapat 52 film tari yang diterima panitia. Film-film tersebut berasal dari dalam dan luar negeri. “Ada yang dari Spanyol, Jepang, Chile, dan Singapura,” kata Hartati.
Dia mengatakan, film tari berbeda dengan dokumentasi tari atau tari yang berada di dalam film. Menurut dia, film tari adalah ide dan gagasan dari seniman koreografer yang disampaikan melalui bingkai kamera.
Ketua Dewan Kesenian Jakarta Irawan Karseno mengatakan, film tari menggabungkan dua disiplin seni, yakni tari dan film. “Singkatnya, ini tari yang dibungkus ke dalam film, tetapi film itu sendiri juga bagian dari tari,” kata Irawan.
Festival Film Tari Internasional 2018 adalah rangkaian dari DKJ FEST 2018 yang berlangsung sejak pertengahan Oktober hingga Desember 2018. (INSAN ALFAJRI)