JAKARTA, KOMPAS – Perempuan nelayan di sejumlah wilayah di Indonesia terus berjuang mencantumkan profesi nelayan di Kartu Tanda Penduduk. Pengakuan secara legal dari negara dibutuhkan agar aktivitas mereka tidak dianggap sekadar pekerjaan domestik.
Naema Badidi, perempuan nelayan asal Desa Kobrau, Maluku, sejak tahun lalu meminta rekomendasi kepada pemerintah desa yang menjelaskan bahwa ia adalah nelayan. Namun, hal itu tak kunjung diberikan.
“Mereka tidak mengakui, saya cuma dianggap sebagai ibu rumah tangga,” kata Naema, Kamis (18/10/2018), seusai diskusi “Kedaulatan Pangan dan Perempuan Nelayan”, di Jakarta. Diskusi ini merupakan rangkaian dari Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2018 yang diadakan oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara).
Ketika cuaca ekstrem (Desember-Maret), suami Naema tidak melaut. Pada saat ini, dia menjadi sumber penghasil pangan dan keuangan keluarga. Dia menangkap kerang dan teripang di pinggir-pinggir pantai. Selain itu, dia juga menangkap udang kecil lalu diolah menjadi terasi.
Sebagaimana Naema, Miryam Badarudin, perempuan nelayan asal Kupang, Nusa Tenggara Timur, juga kesulitan mengurus status sebagai nelayan. Padahal, Miryam merupakan nelayan mandiri, dia menangkap ikan sekaligus menjual hasil tangkapannya itu. “Ketika saya urus di kelurahan, ternyata pekerjaan saya yang diakui adalah pedagang,” kata Miryam.
Sekretaris Jendral Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati mengatakan, perempuan nelayan adalah mereka yang bekerja di rantai produksi perikanan. Hal itu dimulai dari praproduksi hingga pascaproduksi (penangkapan dan penjualan/pengolahan). Namun, istilah ini belum banyak dikenal oleh masyarakat umum dan pemerintah.
Ketua Yayasan Baileo, Vivi Marantika mengatakan, kerja perempuan nelayan sering dianggap sebagai pekerjaan domestik. Profesi mereka diidentifikasi hanya sebagai ibu rumah tangga. “Mereka hanya dianggap menopang ekonomi keluarga. Padahal, ketika cuaca ekstrem, justru perempuan yang menjadi tulang punggung,” kata Vivi.
Dia menyayangkan berbagai pihak yang beranggapan bahwa nelayan hanya sebagai pekerjaan laki-laki. “Ini sangat patriarki. Peran pengelolaan tidak dianggap sebagai bagian dari profesi nelayan. Selain itu, tidak sedikit perempuan yang terjun langsung mengarungi laut. Eksistensi ini yang belum diakui negara,” kata Vivi.
Ketua Presidium Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) Jumiati mengatakan, pengakuan sebagai nelayan dibutuhkan agar perempuan nelayan juga bisa mengakses program dari pemerintah. Adapun bentuk program tersebut, antara lain kartu Kusuka (Kartu Usaha Kelautan dan Perikanan) dan sarana penangkapan ikan.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 39/Permen-KP/2017 tentang Kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan menyebut, kartu Kusuka berfungsi sebagai identitas profesi pelaku usaha kelautan dan perikanan; basis data untuk memudahkan perlindungan dan pemberdayaan pelaku usaha kelautan dan perikanan; pelayanan dan pembinaan pelaku usaha kelautan dan perikanan; sarana untuk pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program kementerian.