JAKARTA, KOMPAS - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) selama tiga hari berturut-turut, mulai Selasa (16/10/2018) hingga Kamis (18/10/2018) menggelar Temu Akbar Masyarakat Pesisir dengan tema “Masyarakat Pesisir Indonesia Berdaulat, Mandiri, dan Sejahtera”, di Goethe Institute Indonesia, Jakarta.
Temu akbar yang dihadiri 150 nelayan dari Aceh hingga Papua tersebut dibuka dengan dialog yang mengusung tema “Masyarakat Pesisir, Kelautan, dan Perikanan serta Kebijakan Pemerintah” yang menghadirkan lima narasumber lainnya yaitu Agus Darmawan dari Direktorat Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Laut Kementerian Perikanan dan Pesisir (KPP), Ivanovich Agusta dari Kapusdatin Kemendesa PDTT, Bafian Faiz dari Perhimpunan Penambak Plasma Udang Windu (P3UW), dan Alisa Wahid dari Wahid Institute.
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Kiara saat membuka acara dialog menyatakan nelayan Indonesia pada masa kini bukan hanya menghadapi masalah perubahan iklim yang ekstrim, tetapi yang lebih besar lagi yaitu menghadapi para investor tambang yang menggerus kehidupan mereka di pesisir dan menghancurkan sumber kehidupan mereka.
“Bahkan sejumlah kasus masyarakat pesisir dan nelayan dikriminalisasi, karena mereka menentang kerusakan lingkungan yang mengancam kehidupan mereka, aktivitas tambang yang merusak pesisir,” ujarnya Susan.
Pada dialog tersebut, sejumlah nelayan mengungkapkan betapa sulitnya ruang gerak mereka di laut setelah digempur sejumlah perusahaan tambang yang masuk di wilayah pesisir tempat hidup mereka. Seperti yang diungkapkan Fitriyati, 28, salah satu ibu warga pesisir dari Tumpang Pitu (pesisir selatan Banyuwangi), Jawa Timur, tentang kondisi desanya yang kini terampas ruang hidupnya. Bahkan Fitri sempat ditahan kepolisian karena aktivitasnya bersama sejumlah warga yang menolak keberadaan tambang di pesisir desanya.
Susan mengingatkan kepada pemerintah tentang banyak kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan keadaan masyarakat pesisir. Seperti reklamasi, yang menurutnya tidak dibutuhkan oleh nelayan Indonesia. “Kebijakan zonasi harusnya, dirumuskan bersama masyarakat yang ada di lingkungan pesisir, agar menguntungkan masyarakat bukan perusahaan," katanya.
Nafian Faiz dari Perhimpunan Penambak Plasma Udang Windu (P3UW) juga menyampaikan pengalamannya ketika sempat bekerjasama dengan perusahaan tambak. Ia mengatakan perusahaan hanya mengambil untung dari nelayan.
Temu akbar masyarakat pesisir akan diisi berbagai kegiatan dialog hingga Kamis mendatang. Pada Rabu (17/6) pagi, 150 nelayan akan melakukan aksi long march menuju Kementerian Perdagangan dan Istana Merdeka untuk menyoroti kebijakan garam.
Pada hari kedua temu akbar tersebut juga akan digelar dialog publik dengan pembicara oleh Zaw-Zaw Han dari Evergreen dan Panglima Laot Aceh.
Hari terakhir akan diisi dengan dialog yang menghadirkan tokoh agama dan tokoh masyarakat, kemudian ditutup dengan Rembuk Pesisir yang menghadirkan perempuan-perempuan nelayan.