MAKASSAR, KOMPAS — Ratusan anak korban gempa dan tsunami Sulawesi Tengah mulai bersekolah di wilayah Sulawesi Selatan. Hari Senin (15/10/2018) ini adalah awal pekan kedua mereka mengenyam, pendidikan.
Mereka tidak dibebankan biaya dan persyaratan administrasi apa pun. Meski begitu, sebagian anak-anak ini masih dibayangi trauma dan perlu penanganan khusus.
Ratusan anak korban gempa ini bersekolah di fasilitas sekolah yang ada di dekat tempat tinggal sementara. Semua sekolah diinstruksikan membuka kesempatan kepada anak-anak ini untuk bisa menempuh pendidikan.
Kepala Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan Irman Yasin Limpo menjelaskan, semua sekolah di Sulawesi Selatan telah diinstruksikan untuk menerima anak korban gempa apapun kondisinya. Hingga saat ini, telah ada 300 anak korban gempa usia SMA yang telah mengikuti kegiatan belajar.
“Jumlah anak yang masuk terus bertambah setiap hari. Kami juga menginstruksikan tidak boleh ada pembebanan administrasi, dan biaya,” tambah Irman.
Irman menambahkan, pihaknya juga telah mendata pengungsi yang berusia sekolah di lokasi pengungsian. Anak korban gempa ini dibebaskan memilih sekolah sesuai kedekatan lokasi tempat tinggal sementara.
Di Asrama Haji Sudiang, dari 560 pengungsi, sebanyak 49 anak merupakan usia sekolah. Mereka terbagi dari Paud hingga SMA. Jumlah anak ini relatif mulai stabil setelah ribuan orang lainnya memilih pulang ke kampung halaman setelah singgah beberapa waktu di tempat ini.
Aulia, staf pekerja sosial dari Kementerian Sosial yang melakukan pendataan menuturkan, pihaknya telah melakukan pendataan dan kunjungan ke berbagai sekolah di sekitar tempat pengungsian. Dari pertemuan tersebut, semua sekolah siap untuk menerima anak korban gempa untuk bersekolah.
Andini (15), siswi SMA 7 Sigi, Sulawesi Tengah, berusaha mendatangi SMA 22 Sudiang, Kamis siang. Diantar keluarganya, anak kedua dari tiga bersaudara ini dipastikan bisa mulai mengikuti kegiatan bersekolah mulai Jumat.
“Sudah mau sekolah. Ketinggalan pelajaran dua minggu. Minggu kemarin harusnya ujian mid semester,” tutur Andini, di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis.
Andini bersama keluarganya tinggal sementara di pusat penamungan pengungsi Asrama Haji Sudiang. Dia datang ke Makassar karena takut dengan situasi kampungnya yang belum aman dari gempa.
Risma (31), pengungsi lainnya menceritakan, dua orang anaknya telah bersekolah di SD dan SMP di Kabupaten Gowa. Tanpa harus membawa persyaratan lengkap, kedua anaknya bosa masuk dan mulai belajar.
Selain itu, tambah Risma, kedua anaknya juga mendapat bantuan seragam dari pihak sekolah. “Senang karena semua diterima baik. Anak dapat bantuan,” tuturnya.
Masih trauma
Meski demikian, Risma melanjutkan, kedua anaknya masih diliputi ketakutan akan gempa. Saat ada guncanan dari mobil yang lalu lalang, kedua anaknya kaget dan ingin berlari keluar ruangan.
Irman menambahkan, dari temuan di lapangan, trauma yang melanda sebagain anak memang menjadi kendala utama yang harus ditangani. Pendekatan dengan metode yang lebih komprehensif perlu dilakukan.
“Ada anak yang dengar suara langkah kaki dari lantai dua ketakutan. Mungkin teringat saat orang-orang berlari ketika gempa. Ini yang harus ditangani oleh ahli,” ucap Irman.
Kasus lain, seorang anak takut ketika berbaris untuk upacara. “Katanya, ketika gempa yang disusul tsunami, dia sedang latihan baris berbaris di pantai. Sebagian temannya juga tidak diketahui kabarnya.”
Oleh karena itu, dia telah memerintahkan agar ada pendampingan kepada anak korban gempa di sekolah. Diharapkan, anak bisa lebih terbuka dan bisa terbebas dari trauma.
Nurjani, Kepala Sekolah SMA 22 Sudiang, Makassar, mengatakan, pendampingan dilakukan oleh guru BK setiap jam istirahat tiba. Guru akan mendengarkan pengalaman bersekolah dan kendala yang dihadapi di tempat baru.
“Di sekolah kami ada tiga orang murid korban gempa yang telah mulai belajar. Sejauh ini kasus trauma mendalam belum kami temukan, tapi kami tetap mendampingi anak saat istirahat. Kami siap untuk menerima korban pengungsi gempa,” kata Nurjani.