JAKARTA, KOMPAS — Umur tidak menjadi batasan di dalam berkarya. Justru, dengan umur datang kecermatan mengamati fenomenal sosial dalam keseharian serta menceritakannya kembali dalam bentuk yang reflektif kepada masyarakat.
Hal itu menjadi inti dari peluncuran buku kumpulan cerita pendek (cerpen) dan puisi berjudul Sepuluh Meretas Batas yang diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor di Jakarta, Kamis (11/10/2018). Buku ini ditulis oleh sepuluh penulis senior, yaitu M Husseyn Umar, Diah Hadaning, Free Hearty, Sori Siregar, K Usman, Hanna Rambe, Sari Narulita Rahmah Asa, Rayani Sri Widodo, dan Yvonne De Fretes.
"Kami adalah sahabat karib yang gemar berkumpul. Akhirnya kami memutuskan dari berkumpul itu harus lahir sesuatu yang produktif, bentuknya buku kumpulan tujuh cerpen dan tiga puisi ini," tutur Yvonnne De Fretes ketika memberi sambutan.
Sementara itu, M Husseyn Umar menjelaskan bahwa umur tidak pernah menjadi masalah dalam berkarya. Ia mengungkapkan memang selalu ada perasaan dikejar umur. Akan tetapi, hal itu justru menjadikan dirinya lebih awas dan semakin cermat menelaah pengalaman hidup.
Nilai
Peluncuran buku tersebut menghadirkan penulis Sihar Ramses Simatupang dan Eka Budianta selaku pembedah buku. Sihar mangatakan, hal positif yang dapat dipetik dari Sepuluh Meretas Batas selain keindahan gaya penulisan adalah saratnya nilai keindonesiaan serta kritik sosial di dalam cerita-ceritanya.
"Akhir-akhir ini banyak teknik penulisan cerita dan puisi yang eksperimental. Namun, sedikit sekali yang memiliki visi, nilai, ideologi, dan kekayaan batin," ucapnya.
Menurut Sihar yang juga pengajar mata kuliah jurnalisme hiburan di Universitas Multimedia Nusantara, eksperimen tersebut bersifat teknis yang diadaptasi dari negara-negara lain. Di negara tempat asalnya, bentuk puisi baru itu merupakan kritik dan pemberontakan terhadap pemikiran seni yang sudah terkonstruksi di masyarakat setempat.
"Masalahnya, ketika bentuk itu dibawa ke Indonesia, belum tentu sesuai dengan alam pikiran masyarakat Nusantara. Akibatnya, eksperimen tersebut seolah kehilangan roh ketika masuk ke Indonesia," papar Sihar.
Ia menuturkan, kesepuluh penulis memiliki berbagai latar belakang. Ada yang dosen psikologi, wartawan, dan ada pula yang pakar hukum. Mereka bisa menggunakan persepsi keilmuan mereka dalam membuat karya sastra.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh sastrawan Eka Budianta. Menurut dia, Indonesia membutuhkan kehadiran generasi baru kritikus sastra sekaliber Gunawan Mohammad, Sapardi Joko Darmono, dan Taufiq Ismail. Mereka memahami kaidah kelayakan sebuat karya bisa disebut sastra.
"Hal ini bukan untuk mendiskriminasi karya, tetapi memastikan bahwa sebuah karya memang merupakan suara mewakili sebuah generasi dan bisa menjadi wakil bangsa di dunia agar bisa disebut karya sastra," ujarnya.
Kurasi ini penting, apalagi sekarang buku merupakan sebuah industri. Menjadi penulis kini relatif lebih mudah dibandingkan dengan era 1990-an ke atas. Kebebasan berpikir dan berpendapat menghadirkan berbagai tulisan dengan beragam mutu dan signifikansi.
Pemimpin Yayasan Pustaka Obor Karrini Nurdin mengatakan, para penulis senior hendaknya tetap rajin menulis. Keberadaan mereka sebagai saksi sejarah bisa menjadi pelajaran untuk generasi muda. Selain dalam bentuk buku, karya-karya mereka juga diterbitkan dalam bentuk bacaan digital sehingga bisa dinikmati melalui telepon pintar.