Gatotkaca, ksatria Pringgandani putra Bima, dikenal sebagai tokoh yang amat sakti, bahkan dari sejak awal kelahirannya yang sulit. Metafora ”otot kawat balung wesi” (otot dari kawat dan tulang dari besi) sekadar perumpamaan untuk melukiskan betapa kuat dan jagoannya ksatria ini.
Namun, malam itu, di tengah perang besar Bharatayuda, ia—yang semula hanya ditugaskan oleh Sri Kresna untuk memantau medan Kurusetra yang membara—harus menghadapi Adipati Karna yang juga memenuhi panggilan tugas untuk memimpin bala tentara Kurawa.
Setelah bertarung sengit, Karna pun melepas senjata sakti andalannya, yakni Kunta Wijayadanu. Pusaka ini sebenarnya juga kesulitan menemukan sasaran yang bersembunyi di balik mega. Namun, arwah Kalabendana, paman Gatotkaca yang dulu tak sengaja tewas oleh Gatotkaca, membantu karena ia ingin ke nirwana bersama sang keponakan. Gatotkaca yang sakti gugur dengan menimbulkan korban 1.000 prajurit Kurawa saat jasadnya menghunjam Bumi.
Itulah ringkasan lakon wayang orang ”Pedhut ing Pringgondani” (Kabut di Pringgandani) yang dipentaskan oleh Kelompok Mustika Yuastika dari Surabaya di Teater Wayang Kautaman, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Minggu (23/9/2018) petang.
Pergelaran yang disutradarai Rika Sulisdiana dan dalang Bagus Wiyadi menampilkan pemain utama antara lain Dodik Bomantoro (sebagai Gatotkaca) dan Rono Puspito (Karna).
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur Sinarto dalam sambutan tertulisnya menyatakan pergelaran ”Pedhut ing Pringgondani” bisa ikut berperan memajukan khazanah seni tradisi yang kaya dengan memberi pemaknaan baru.