JAKARTA,KOMPAS — Penemuan aneka macam jenis keramik dari abad ke-10 hingga 20 di Kepulauan Natuna memastikan adanya pasokan barang dari Asia Daratan ke pulau di ujung utara Indonesia ini secara berkesinambungan selama berabad-abad. Fakta ini juga menjelaskan bahwa Natuna pernah menjadi salah satu koridor pelayaran dan perniagaan global.
Sejak 2010 silam, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) menggelar sejumlah penelitian di Natuna. Untuk sementara ini, penelitian baru difokuskan di kawasan Pantai Timur Bunguran.
Berdasarkan hasil identifikasi langgam keramik (ciri-ciri yang menunjukkan asal dan periode keramik), ternyata asal keramik Natuna sangat beragam. “Sebagian besar berasal dari China, mulai dari Dinasti Song abad ke-10 hingga Dinasti Qing abad ke-20,” kata Koordinator Penelitian Natuna Prof Naniek Harkantiningsih dari Puslit Arkenas, Selasa (25/09/2018) di Jakarta.
Dalam periode 10 abad itu, para peneliti menemukan keramik-keramik periode lima dinasti China, sejak Dinasti Song (abad ke-10-13), Dinasti Yuan (abad ke-13- 14), Dinasti Ming (abad ke-14-16), dan Dinasti Qing (abad ke-16-20). Namun, selain keramik-keramik China ditemukan pula keramik-keramik Vietnam dan Thailand (abad ke-14-16), Belanda (abad ke-19-20), Jepang (abad ke-20), Singkawang (abad ke-20), dan keramik modern (abad ke-20).
Dari seluruh temuan-temuan yang ada, jumlah terbanyak didominasi keramik-keramik periode Dinasti Yuan pada abad ke-13 hingga 14. Peneliti menduga, pada periode inilah jalur perdagangan dan pelayaran ke Natuna dan Nusantara mengalami puncak aktivitasnya antara abad ke-12 hingga 14.
“Padatnya keragaman keramik yang ditemukan pada fase ini (abad ke-12 hingga 14) menunjukkan bahwa Natuna diduga merupakan perlabuhan yang melayani perniagaan jarak jauh,” kata dia.
Penemuan keramik periode abad ke-15 hingga 16 di Natuna turun drastis. Diperkirakan, fenomena ini mengindikasikan surutnya lalu-lintas perniagaan ke daerah tersebut. Namun, memasuki abad ke-18 hingga 19, jumlah keramik naik lagi seiring masuknya VOC ke wilayah Nusantara.
Peninggalan-peninggalan bersejarah berupa benda-benda keramik dari berbagai periode masa bisa ditemukan di sepanjang pantai Kepulauan Natuna. Karena terdesak kebutuhan ekonomi, warga setempat banyak yang akhirnya menjadi pencari barang antik keramik dengan teknik macok (menusuk-nusuk tanah).
Di satu sisi, kehadiran pemacok (pemburu keramik dengan teknik macok) memang mengancam kelestarian benda-benda bersejarah keramik di Natuna. Namun, dari sisi lain peran para pemacok sangat membantu para arkeolog dalam proses-proses penggalian atau ekskavasi.
“Mereka sangat lihai mencari titik-titik di mana keramik terpendam. Pemda Natuna kini sedang menyiapkan pembangunan museum, semoga nantinya benda-benda bersejarah baik keramik maupun peninggalan-peninggalan lainnya bisa disimpan di sana,” tambah Sonny C Wibisono, arkeolog senior Puslit Arkenas.
Keberagaman di Natuna
Selain penemuan keramik, di Pulau Bunguran yang merupakan pulau terbesar di Natuna ditemukan sekitar 20 situs hunian di sekitar tepi pantai. Yang menarik dari situs-situs ini adalah, para arkeolog menemukan empat jenis kubur mulai dari yang tanpa bekal, dengan bekal kubur, dengan bengkong atau keranda kayu, dan kubur dengan nisan Islam. Menurut Sonny, fenomena ini mewakili sebuah gambaran tentang adanya keberagaman budaya para penghuni Kepulauan Natuna, khususnya Pulau Bunguran.
“Teknik-teknik penguburan seperti ini ditemukan pula di Sabah (Malaysia), Filipina, dan Vietnam. Ini menunjukkan bahwa Natuna yang merupakan gugus kepulauan terpencil itu dalam lintasan zaman pernah menjadi bagian dari sebuah wilayah interaksi yang intensif di Laut Cina Selatan, menghubungkan wilayah Asia Tenggara daratan dan Kepulauan.
Kepulauan Natuna terdiri dari 272 pulau. Dari 272 pulau tersebut, yang kini dihuni penduduk hanya 76 pulau dan sisanya tak berpenghuni.
Sebagai satu dari pulau terluar di Indonesia, Natuna yang kini tak seramai abad ke-13 atau 14 masih tetap memegang peran penting dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengungkapan secara arkeologis tentang peran besar Natuna pada masa dahulu mengingatkan publik dan pemangku kepentingan untuk kembali memperhatikan wilayah pinggiran Indonesia ini.
Dalam rangka menggugah kembali kesadaran masyarakat terhadap sejarah Natuna, Puslit Arkenas menggelar kembali proyek “Rumah Peradaban” di Natuna, Kepulauan Riau akhir September ini. Dengan mengangkat semboyan mengungkap-memaknai-mencintai kebudayaan Indonesia melalui peninggalan arkeologis, Puslit mencoba membumikan hasil-hasil penelitiannya agar bermanfaat bagi masyarakat.