JAKARTA, KOMPAS — Ulos, kain tenun khas Suku Batak, memiliki makna dalam perjalanan kehidupan masyarakat yang berbasis di Sumatara Utara itu. Helaian kain yang terajut dari alat tenun tradisional itu mencerminkan aneka fase kehidupan, mulai dari kelahiran, kehidupan, pernikahan, hingga kematian.
Jejak perjalanan itu terekam di Pameran Ulos Hangoluan & Tondi di Museum Tekstil, Jakarta, dengan tema States of Life atau Tahapan dalam Kehidupan. Total 50 helai ulos dari koleksi pribadi Devi Panjaitan boru Simatupang dipajang di setiap tahap kehidupan masyarakat Batak. Pameran berlangsung dari tanggal 20 September hingga 7 Oktober 2018.
Direktur Tobatenun dan Inisiator Pameran Ulos Hangoliuan dan Tondi Kerri Na Basira, Kamis (20/9/2018) mengatakan, ulos yang dipamerkan berusia 60 tahun ke atas ini bertujuan untuk melestarikan kerajinan ulos terutama untuk generasi muda batak.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan sekaligus ayah dari Kerri Na Basira mengatakan, ulos yang dipamerkan tidak lagi bisa ditemukan di pasaran dan hampir punah. Ironinya tidak ada lagi yang menenun dengan motif, bahan, dan kualitas yang sama.
Menurut Luhut, pameran ini untuk menggali budaya supaya tidak hilang. Generasi Indonesia harus hidup menjadi modern dengan budaya dan identitas. Oleh karena itu, ulos atau kekayaan budaya Indonesia lainnya harus diwariskan ke generasi mendatang.
Kerri menambahkan, ulos tidak sekadar media untuk perayaan adat semata, namun ada pemaknaan dan nilai di setiap fase kehidupan. “Identitas orang batak itu terletak di ulosnya, bukan sebatas sehelai kain mati. Namun, ada kehidupan di dalamn,” Ujar kerri putri dari Devi Panjaitan.
Selain fokus untuk melestarikan kain ulos, melalui pameran ini juga ingin menaikan derajat para penenun ulos dan perempuannya. Kerri menuturkan, ada yang hilang dalam penbuatan ulos yaitu, pengetahuan tentang bertenun, makna dan nilai dari proses kehidupan hilang saat bertenun.
“Kita ingin ulos kembali kepada pemaknaan dalam setiap proses kehidupan. Ulos dibuat berdasarkan pemaknaan tidak hanya sekedar membuat ulos semata. Jangan sampai pembuatan ulos sebatas nilai ekonomi namun, harus seimbang dengan nilai budaya dan makna ulosnya,” lanjutnya.
Pengunjung Pameran Andre Tobing, 59, menuturkan, merasa perlu belajar kembali dan melihat lebih jauh kebudayaan Batak melalui kain ulos. “Saya lahir dan besar di Jakarta, kuliah di malang, dan memiliki istri dari Suku Jawa. Ada banyak hal yang dapat saya pelajari ketika mengunjungi pameran ini,” kata Andre.
Ia mengaku, ketika acara kematian ia ditegur karena salah menggunakan ulos. Dari pameran ini memberikan pemahaman lebih penggunaan ulos dan tentang makna tahapan kehidupan manusia.
Perjalanan hidup
Memasuki pintu utama Museum Tekstil, pengunjung disuguhkan instalasi video dengan kain putih sebagai layar. Sosok ibu muncul dan menceritakan kehidupan masyarakat Samosir. Dari sini pengunjung berjalan ke arah awal kehidupan manusia, yaitu kelahiran. Ruangan ini didominasi oleh cahaya merah yang terinspirasi dari bentuk embrio yang menjadi lambing awal kehidupan.
Di ruang kelahiran terpajang sebuah Ulos Lobu-lobu yang diberikan kepada perempuan yang ingin hamil dan melahirkan. Tidak hanya itu saja, ulos juga berfungsi sebagai alat gendong dan diharapkan melindungi anak hingga generasi berikutnya.
Tahap perjalanan manusia berikutnya adalah ruang kehidupan, disini suasana jauh lebih berwarna dari kain ulos yang terpajang mulai masa kecil hingga tua. Ruangan ini menjadi perwujudan dari dinamika dalam kehidupan masayarakat Batak.
Melangkah ke kanan pengunjung diajak ke ruang pernikahan, sebuah ruang yang penuh kecerian dan kemeriahan. Dalam budaya Batak, pernikahan merupakan perayaan dari kehidupan.
Tahap terakhir adalah ruang kematian. Alunan sendu seruling menghantar pengunjung pada dimensi yang berbeda. Asap mengepul memenuhi ruangan yang tidak secerah pada fase kehidupan lainnya.
Ulos menjadi sebuah karya yang menjadi simbol ikatan kasih sayang, restu, dan persatuan dalam setiap tahapan kehidupan masyarakat Batak. (Aguido Adri)