JAKARTA, KOMPAS - Pendidikan yang berbobot merupakan keniscayaan di sekolah. Pembekalan guru agar memahami secara komprehensif materi pelajaran beserta pemilihan metode ajar yang sesuai dengan situasi di setiap kelas mendesak dilakukan.
“Pemerataan mutu pendidikan tidak hanya meningkatkan angka partisipasi kasar di setiap jenjang pendidikan. Akan tetapi, juga memastikan siswa di sekolah mendapat pembelajaran yang sesuai dengan target kurikulum,” kata Ketua Tim Penelitian untuk Meningkatkan Sistem Pendidikan (RISE) yang dilakukan oleh lembaga penelitian Smeru, Sudarmo Sumarto. Sudarmo mengatakan itu dalam diskusi mengenai hasil penelitian RISE Smeru tahun 2017 di Jakarta pada hari Rabu (19/9/2018).
RISE merupakan program yang disponsori oleh pemerintah Inggris dan Australia untuk memajukan pendidikan di negara-negara berkembang. Terdapat enam negara tempat program dilaksanakan selama lima tahun, yaitu Indonesia, India, Ethiopia, Vietnam, Pakistan, dan Tanzania. Di Indonesia, RISE dilaksanakan oleh Lembaga Riset Smeru untuk jangka waktu 2017 hingga 2022.
Sebagai langkah awal, RISE Smeru melakukan evaluasi untuk mengetahui kemampuan masyarakat Indonesia dalam kelompok umur 8 tahun, 18 tahun, dan 28 tahun. Soal-soal yang digunakan berasal dari Survey Kehidupan Keluarga Indonesia (IFLS) yang dikeluarkan oleh Rand Corporation, sebuah lembaga penelitian pendidikan nirlaba dari Amerika Serikat. Mereka rutin melakukan IFLS setiap tujuh tahun satu kali, yakni pada tahun 2000, 2007, dan 2014.
Survey tersebut menggunakan soal-soal matematika dasar seperti penjumlahan bilangan ratusan maupun pecahan yang merupakan materi kelas V SD. Sampelnya diungkapkan merepresentasikan 83 persen penduduk Indonesia. Hasilnya mengejutkan. Hanya 51,2 persen peserta berusia 8 tahun yang bisa mengerjakan soal. Untuk golongan dewasa juga tidak menggembirakan karena dari kelompok usia 18 tahun hanya 66 persen yang bisa mengerjakan soal dan dari kelompok usia 28 tahun malah hanya 55 persen yang lulus ujian.
“Artinya, pembelajaran di sekolah belum bisa memberi kemampuan numerasi dan literasi yang memadai,” tutur Sudarmo.
Dalam diskusi tersebut turut hadir berbagai pakar dan pegiat pendidikan. Ketua Tim Program Kiat Guru, Dewi Susanti yang melakukan intervensi di Kalimantan dan Nusa Tenggara Timur mengatakan, hasil pembelajaran dari guru yang sudah menerima tunjangan kinerja tidak membaik.
Selain itu, masih ditemukan kasus guru-guru yang mangkir dari kewajiban mengajar walaupun menerima gaji dan tunjangan. “Bahkan, di Papua dan Papua Barat satu dari dua guru masih sering mangkir. Alasannya karena rumah mereka jauh dari sekolah tempat mengajar dan medan yang harus ditempuh sangat susah, seperti naik-turun perbukitan dan menyeberang hutan maupun sungai,” tutur Dewi.
Sementara itu, Direktur Program Inovasi, sebuah kemitraan antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan pemerintah Australia, Mark Heyward, menuturkan, intervensi masih dilakukan dengan pendekatan dari atas ke bawah. Pemerintah pusat membuat modul pelatihan dan dijalankan di daerah. Modul tersebut bersifat umum serta tidak menyasar permasalahan yang spesifik di daerah tersebut, apalagi di kelas tertentu.
Pakar pendidikan Doni Koesoema berpendapat, langkah yang bisa diambil ialah membangun kepercayaan antara sekolah, orangtua siswa, siswa, dan masyarakat sekitar. Diperlukan dialog yang rutin dan mendalam guna membahas permasalahan spesifik, seperti kasus guru mangkir.
“Apabila masalahnya pada perilaku guru yang pemalas, masyarakat boleh menuntut sekolah dan dinas untuk mengganti guru. Apabila masalahanya adalah jarak, bisa didiskusika cara untuk meringankan beban transportasi guru,” ujarnya.
Di samping itu, diskusi tersebut bisa mengungkapkan permasalahan dalam bobot pembelajaran. Bersama-sama, sekolah, keluarga, dan masyarakat sekitar bisa menelaah jika guru membutuhkan peningkatan kapasitas atau mengubah cara mengajar.
“Apabila yang bermasalah adalah siswa-siswa tertentu, bisa dilakukan pendekatan khusus berbasis proyek, bukan pemaksaan pelatihan soal berulang-ulang (drilling),” ucapnya.
Ia mengingatkan, guru sebagai profesi sejatinya harus memiliki kesadaran di dalam mendidik. Tugas masyarakat ialah memberi penyadaran, bukan hanya memastikan guru masuk kelas.