JAKARTA, KOMPAS- Kendati program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) sudah memasuki tahun ketiga, hingga kini masalah perkawinan anak masih menjadi persoalan, bahkan masih banyak terjadi. Padahal penghentian pernikahan anak akan memberi kontribusi pada pencapaian SDGs yakni pada Tujuan 1, 2, 3, 4 dan 5. Bahkan, target SDGs yang ke lima secara khusus menghapus segala bentuk praktik perkawinan anak.
“Pernikahan anak berdampak pada kemiskinan, kematian ibu juga kualitas bayi yang dilahirkan. Anak yang menikah dini juga akan putus sekolah sehingga wajib belajar 12 tahun tak terpenuhi,” kata Zumrotin K Susilo, Dewan Pengawas International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Rabu (19/9/2018) di Jakarta.
Disamping itu, lanjut Zumrotin, pernikahan anak membuat kekerasan seksual dan kekerasan rumah tangga rentan terjadi sekaligus merenggut hak anak, merujuk Undang-undang tentang Perlindungan Anak No 23 tahun 2002.
Zumrotin yang juga Direktur Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) menyatakan praktik perkawinan anak bisa dicegah dengan berbagai langkah, misalnya memastikan anak-anak perempuan dapat mengejar pendidikan tinggi dan keterampilan kejuruan, dan menyiapkan peluang masa depan untuk memperoleh penghasilan.
Selama ini pernikahan anak hanya dianggap urusan Kementerian Agama. Padahal seharusnya penghapusan pernikahan anak harus menjadi komitmen berbagai kementerian antara lain Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Sosial, dan Kementerian Agama.
Siti Khoirun Ni’mah, Program Manager INFID menyatakan perkawinan anak semestinya bisa dipecahkan melalui pelaksanaan dan pencapaian SDGs. Untuk itu, penting adanya peta jalan pencapaian SDGs yang disusun dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. "Sehingga hambatan-hambatan yang terjadi terkait dengan perkawinan anak dapat dipecahkan bersama-sama," ujar Ni\'mah.
Masih terjadi
Koordinator Pokja Reformasi Kebijakan Publik, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Indry Oktaviani menyatakan tren perkawinan anak semakin menguat dengan semakin terbukanya praktik perkawinan anak di masyarakat.
Kasus yang terakhir terjadi, misalnya Agustus lalu di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan seorang anak lelaki yang baru lulus Sekolah Dasar menyunting remaja perempuan berusia 17 tahun. Bahkan data dari Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di Provinsi Sulsel, sepanjang Januari-Agustus tahun 2018 sudah ada 720 kasus pernikahan anak.
Perkawinan usia anak ini tak hanya terjadi di daerah tertentu saja. Praktiknya terjadi di seluruh provinsi di Indonesia.
Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan BPS pada 2015 terdapat 20 provinsi dengan prevalensi perkawinan usia anak yang lebih tinggi dibanding angka nasional (22,82 persen).
Lima provinsi dengan angka prevalensi terbesar yakni Sulawesi Barat (34,22 persen), Kalimantan Selatan (33,68 persen), Kalimantan Tengah (33,56 per sen), Kalimantan Barat (33,21 persen), dan Sulawesi Tengah (31,91 persen).
Untuk mendorong adanya kolaborasi para pihak, INFID akan menyelenggarakan Seminar Nasional SDGs di Jakarta pada, Kamis (20/9/2018) yang akan dihadiri oleh 200 orang peserta dari berbagai daerah di Indonesia. Tema seminar nasional adalah Konsolidasi Pemangku Kepentingan dalam Pelaksanaan dan Pencapaian SDGs di Indonesia. Melalui Seminar Nasional, diharapkan terjadi pertukaran informasi dan pembelajaran para pihak untuk pencapaian SDGs yang inklusif dan partisipatif.