Sineas Butuh Perhatikan Selera Penonton
JAKARTA, KOMPAS — Para sineas Indonesia diharapkan tidak hanya fokus terhadap nilai estetika dalam membuat film. Kebutuhan penonton juga perlu diperhatikan agar pemodal tertarik untuk berinvestasi. Jika dua hal ini seimbang, industri perfilman Indonesia akan semakin membaik.
Hal itu mengemuka dalam pembukaan Forum Pendanaan Film Indonesia Akatara 2018 di Jakarta, Selasa (18/9/2018). Forum yang diadakan Badan Ekonomi Kreatif bekerja sama dengan Badan Perfilman Indonesia ini diikuti para sineas, pegiat film, dan pemodal nasional ataupun mancanegara.
Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf mengharapkan, sineas memperhatikan kebutuhan masyarakat dalam membuat film. Dalam mempersiapkan proyek film, sineas sebaiknya melakukan survei, penelitian, ataupun diskusi kelompok terarah tentang selera masyarakat.
“Jangan hanya membuat film sebagai sebuah produk, tetapi perhatikan juga kebutuhan masyarakat,” kata Triawan saat memberikan sambutan.
Menurut Triawan, terlepas dari tujuannya untuk komersial atau bukan, banyaknya orang yang menonton hendaknya jadi acuan keberhasilan bagi sineas. Dengan demikian, sineas akan lebih hati-hati dalam mempersiapkan film yang dibuat.
Deputi Akses Permodalan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Fadjar Hutomo mengatakan hal senada. Antara aspek estetika dan aspek komersial dalam pembuatan film harus seimbang. Sineas diharapkan tidak hanya fokus ke aspek estetika, tetapi mengabaikan aspek komersial.
“Sisi estetika memang perlu dan harus harus ada, tetapi aspek-aspek bisnis atau komersial juga perlu diperhatikan. Saya kira ini salah satu yang akan membangun industri perfilman kita. Jadi memang harus ada keseimbangan,” kata Fadjar.
Fadjar menjelaskan, Bekraf punya banyak program untuk membangun kapasitas orang-orang kreatif. Itu dilakukan melalui berbagai pelatihan, pendidikan, dan pendampingan. Dia pun yakin, Indonesia tidak akan kekurangan orang-orang kreatif. Namun, bagaimana menghasilkan usaha kreatif dari orang-orang kreatif ini menjadi tantangan bagi Bekraf.
“Jadi tidak hanya soal kreativitas, tetapi juga bagaimana menghasilkan nilai ekonomi dari kreativitas itu sendiri,” ujarnya.
Managing Partner Ideosource Andi S. Boediman mengatakan, sineas mesti memiliki sudut pandang komersial jika ingin membuat film yang menghibur dan mendapat dukungan secara berkelanjutan dari pemodal. Menurutnya ini penting, bukan bagi investor, tetapi bagi penonton.
Andi menjelaskan, sebagian besar masyarakat tidak mau repot memutuskan film yang akan ditonton. Mereka tidak punya banyak waktu meninjau film yang akan disaksikan. Jadi, penonton lebih memilih menonton film yang jelas benefitnya bagi mereka.
Ini menjadi hambatan bagi sineas yang ingin berkreasi menghasilkan karya yang belum pernah dibuat sebelumnya karena tidak ada yang tahu akan seperti apa hasilnya. “Pertanyaan yang perlu dijawab, benefit orang untuk menonton film Anda itu apa? Jadi kalau Anda kalah di depan (kurang menarik), film Anda tidak akan ada yang menonton,” ujarnya.
Pendanaan
Triawan mengajak, para pemodal yang terlibat di dalam Akatara 2018 agar mau berinvestasi terhadap film karya sineas lokal. Investasi di bidang perfilman, kata dia, kian menjanjikan karena perkembangan industri perfilman Indonesia sangat pesat.
Jumlah penonton di Indonesia terus meningkat. Pada 2014 dan 2015 jumlah tiket bioskop yang terjual hanya 76 juta dan 80 juta tiket. Pada 2018, jumlahnya melonjak menjadi 105 juta tiket sampai Agustus dan diestimasikan mencapai 157 juta tiket hingga Desember. Jumlah layar bioskop juga terus meningkat dari 1.100 layar pada 2015 menjadi 1.681 layar pada 2018.
Saat ini, 40 persen film yang diputar di bioskop adalah film nasional dan Triawan optimistis bisa menjadi 50 persen pada akhir tahun. Menurut dia, angka ini jauh lebih besar dibandingkan negara tetangga Australia yang hanya memutar satu persen film nasional.
“Tapi saya belum puas. Mudah-mudahan ke depannya bisa lebih berkembang lagi sehingga kita bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” ujarnya.
Sol Amrida, sineas peserta Akatara 2018 dari Surabaya, mengakui, pendanaan menjadi tantangan besar bagi sineas dalam membuat film. Biaya untuk menyewa peralatan, merekrut pemain, kru, promosi, dan sebagainya sangat besar. Dari segi tim, menurutnya tidak menjadi kendala karena sudah punya jam terbang.
Sol mengatakan, timnya saat ini sedang mempersiapkan proyek film fiksi panjang “Tamu Keseribu”. Film seni penuh simbol dan cerita yang intensif ini diproyeksikan bisa didistribusikan di festival-festival internasional. Untuk memproduksi "Tamu Keseribu", setidaknya dibutuhkan biaya Rp 1-3 miliar. Dia pun berharap, dengan mengikuti Akatara 2018, proyek film ini mendapatkan pemodal.
“Semoga forum ini bisa mewujudkan perfilman Indonesia yang berkualitas. Tidak hanya film yang menjual (punya nilai komersial), tetapi berkualitas. Sudah saatnya film Indonesia bagus secara kualitas dan secara komersial,” ujarnya.
Akatara 2018 diadakan pada 18-20 September 2018. Acara ini menjadi forum bagi sineas, pegiat film, dan pemodal dalam menjajaki kerja sama produksi film ataupun pemodalan program nonproduksi yang masih berkaitan dengan film.
Tahun ini, terpilih 48 proposal film (berbagai genre) dan 8 proposal nonproduksi, ditambah 4 proyek film untuk Torino Lab dari 343 proposal yang masuk ke panitia. (E04)