Generasi Muda, Konsumen Terbesar Industri Film
JAKARTA, KOMPAS — Hasil survei antara Badan Ekonomi Kreatif dan Rumah Sinema menunjukkan, 59 persen penonton bioskop merupakan mahasiswa S-1 dan 33 persen lainnya adalah siswa SMA. Sampai saat ini, kaum muda masih menjadi pasar terbesar industri perfilman nasional.
Dengan presentasi tersebut, praktis 92 persen penonton bioskop adalah anak-anak muda. Sebagian besar dari mereka menonton bioskop satu hingga dua kali sebulan.
Riset yang dilakukan Bekraf dan Rumah Sinema pada Oktober hingga November 2016 lalu itu diikuti sekitar 2.000 responden. Target yang mereka teliti terkait segmentasi dan pengambilan keputusan penonton film.
Selain segmentasi penonton, hasil survei memperlihatkan beberapa faktor yang memengaruhi keputusan orang untuk menonton film. Faktor-faktor itu meliputi komunikasi pemasaran; sumber informasi; rekomendasi dari teman melalui jejaring sosial dan forum; genre film yang ditonton; nama dan popularitas sutradara; sekuel film; asal negara film; popularitas pemain film; karya adaptasi novel; alur; lokasi; akting dan musik; konten-konten yang dihindari, seperti kekerasan dan seks; animasi, efek visual dan tiga dimensi; serta jadwal pemutaran film.
Melalui berbagai platform
Seiring perkembangan teknologi informasi, kini selain di bioskop, aktivitas menonton film semakin terpecah-pecah ke berbagai macam platform, mulai dari program televisi gratis, televisi berbayar, situs web gratis, layanan internet berbayar, bioskop alternatif, peer sharing, hingga festival film. Semakin beragamnya platform pemutaran film ini turut mendongkrak pertumbuhan industri perfilman nasional.
Kepala Bekraf Triawan Munaf mengatakan, hasil riset tentang capaian makro subsektor film menunjukkan bahwa pertumbuhan film nasional pada tahun 2016 mencapai 10,1 persen atau naik 3,42 persen daripada tahun sebelumnya. Subsektor film, animasi, dan video yang merupakan salah satu subsektor ekonomi kreatif mencatat laju pertumbuhan paling tinggi.
”Sekitar 10,96 persen pengusaha atau perusahaan di subsektor film, animasi, dan video memiliki pendapatan Rp 2,5 miliar sampai dengan Rp 50 miliar. Dengan angka ini, mereka menempati peringkat kedua dari semua subsektor ekonomi kreatif setelah subsektor periklanan,” kata Triawan, Kamis (13/9/2018), di sela-sela Indonesia Film Business Outlook 2019 di Jakarta.
Dalam rangka menangkap peluang ini, Bekraf dan Badan Perfilman Indonesia (BPI) menyelenggarakan kegiatan Indonesia Financing Forum, Akatara, yang telah digelar sejak 2017. Akatara akan diselenggarakan lagi pada 18-20 September 2018 dengan tujuan utama meningkatkan investasi bisnis dan kewirausahaan film di Indonesia kepada pasar film nasional, khususnya calon investor baru.
”Melalui kegiatan ini, Bekraf optimistis akan muncul banyak investor baru guna mendorong iklim investasi perfilman Tanah Air yang lebih stabil dan kuat di masa depan,” kata Triawan.
Beberapa program pengembangan perfilman yang telah dilakukan Bekraf bersama asosiasi dan lembaga perfilman adalah Scara (Skenario Cerita Anak Nusantara) atau program pelatihan dan pencarian penulis skenario, Docs by the Sea (forum global yang menghubungkan para pembuat film dokumenter Indonesia dan Asia Tenggara dengan industri dan investor film dokumenter internasional), Torino Film Lab, serta berbagai lokakarya penulisan skenario.
”Kegiatan ini penting untuk memaksimalkan ekosistem bisnis film nasional agar tetap relevan dengan situasi zaman. Investasi perfilman yang bisa dikembangkan antara lain sekolah perfilman, festival, kurasi, jasa sewa alat, jasa pascaproduksi, distribusi, dan inisiasi platform digital,” ujar Ketua Bidang Fasilitasi Pembiayaan BPI Agung Sentausa.
Chand Parwez, produser film yang juga Ketua BPI dalam film terbarunya sengaja membuat film drama komedi romantis dengan biaya tinggi untuk menjawab tingginya gairah para penonton bioskop Indonesia yang didominasi oleh generasi muda. Sesuai dengan targetnya yang tak lain adalah kaum muda, film yang mengambil lokasi di empat benua itu bercerita tentang hubungan pertemanan dan cinta empat sahabat sejak dari SMA hingga mereka hidup mapan.
Komunitas
Dihubungi terpisah, Ketua Bidang Festival Internasional dan Hubungan Luar Negeri BPI, Dimas Jayasrana mengatakan, ada sekitar 125 komunitas perfilman yang aktif di seluruh Indonesia. Yang menarik adalah, komunitas-komunitas itu mayoritas terdiri dari anak-anak muda.
”Jumlah itu belum termasuk komunitas yang berbasis pada kegiatan ekstrakurikuler di sekolah menengah kejuruan,” ujar Dimas.
Dalam Temu Komunitas Perfilman Indonesia Maret lalu, di Sukabumi, Jawa Barat, berkumpul 335 peserta dari 98 komunitas perfilman yang tersebar di 41 kabupaten/kota.
Komunitas-komunitas perfilman bisa ditemukan mulai dari Aceh, Medan, Bukittinggi, Lampung, Cilegon, sejumlah kota di Jawa, Lombok, Singkawang, Makassar, Manado, Ambon, hingga Timika. Merekalah yang menjadi penggerak pertumbuhan sinema-sinema di seluruh penjuru Indonesia. (ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN/*)