Kesenjangan Layanan Pendidikan Masih Jadi Masalah Indonesia
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Program wajib belajar 12 tahun di Indonesia masih menuai kendala. Meski taraf pendidikan penduduk rata-rata di Indonesia meningkat, kesenjangan layanan pendidikan di Indonesia masih cukup besar.
Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, rata-rata lama sekolah (RLS) penduduk usia lebih dari 15 tahun meningkat setiap tahunnya. Pada 2015 tercatat sebesar 7,84 tahun, pada 2016 menjadi 7,95 tahun, dan pada 2017 menjadi 8,10 tahun. Namun, masih ada 14 provinsi yang capaian RLS lebih rendah dari capaian nasional, seperti Papua (6,4 tahun), Kalimantan Barat (7,52 tahun), dan Nusa Tenggara Timur (7,55 tahun). Sementara, angka RLS tertinggi ditemui di DKI Jakarta, yaitu 10,89 tahun.
“Sebelum menjalankan sistem wajar (wajib belajar) 12 tahun, tuntaskan dulu wajar 9 tahun. Ini (wajar 9 tahun) sendiri belum selesai di sebagian besar daerah. Selain itu, kalau dilihat secara nasional, pastisipasi penduduk untuk pendidikan dasar memang meningkat, tetapi jika dilihat di setiap deerah, disparitasnya masih tinggi,” ujar Deputi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional /Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bidang Pembangungan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan, Subandi dalam Forum Kajian Pembangunan di Jakarta, Rabu (12/9/2018).
Ia menambahkan, kesenjangan lain yang juga harus diselesaikan yaitu terkait kualitas guru serta penyediaan fasilitas sarana dan prasarana sekolah. Berdasarkan hasil uji kompetensi guru (UKG), perolehan rata-rata nasional masih sebesar 53,02. Jumlah itu di bawah standar kompetensi minimal yang ditetapkan yaitu 55,0.
Sebanyak 27 provinsi atau sekitar 80 persen dari total keseluruhan memiliki rata-rata nilai hasil UKG di bawah standar kompetensi minimal. Hanya ada tujuh provinsi yang di atas standar, yaitu Jawa Barat, Kepulauan Bangka Belitung, Bali, Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta. Hasil UKG terendah berada di Provinsi Maluku Utara (41,87).
Senior spesialis pendidikan dari Bank Dunia Javier Luque berpendapat, capaian terkait sistem pendidikan di Indonesia sudah baik. Bahkan, capaian rata-rata lama pendidikan di Indonesia hampir mencapai rata-rata global, yaitu 8,5 tahun. “Agar terus bergerak ke depan, Indonesia juga perlu memastikan pendidikan yang dimiliki juga berkualitas,” katanya.
Ia menyarankan, sistem perekrutan guru dan kualitas guru harus ditingkatkan. Selain itu, fasilitas terkait sarana dan prasarana sekolah juga perlu ditingkatkan, terutama di sekolah-sekolah kejuruan. Untuk sekolah yang kualitasnya rendah harus diidentifikasi sehingga intervensi dari pemerintah bisa tepat sasaran. “Pastikan juga jangan sampai ada siswa yang putus sekolah,” ujarnya.
Peneliti senior dari Article 33 Indonesia Lukman Hakim menambahkan, dukungan pendanaan dari pemerintah juga menentukan keberhasilan dari program wajib belajar 12 tahun. Dengan sistem pemerintahan desentralisasi saat ini, penyediaan anggaran pemerintah daerah di bidang pendidikan sangat menentukan.
Berdasarkan hasil kajian dari Article 33 Indonesia pada Desember 2017, kebutuhan anggaran pendidikan untuk wajib belajar 12 Tahun selama lima tahun hingga 2022 sekitar Rp 1.600 triliun. Jumlah tersebut dibutuhkan untuk biaya gaji dan tunjangan guru (Rp827 triliun), pengeluaran rumah tangga untuk kuintil I dan II (Rp 383 triliun), biaya operasional sekolah (Rp 254 triliun), dan biaya pelatihan guru (Rp 39 triliun).
“Estimasi kebutuhan pendanaan dan gapnya untuk mencapai Wajar 12 Tahun perlu memperhatikan konteks bagaimana anggaran pendidikan dikelola. Hal yang perlu dipertimbangkan adalaha adanya sistem desentralisasi, flow of funds, serta komitmen dan kontribusi pemerintah daerah,” katanya.
Kepala Bagian Kebijakan dan Evaluasi Program Biro Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri Sekretariat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Eka Nugrahini mengatakan, pemerintah pusat telah menganggarkan 20 persen dana APBD untuk sektor pendidikan. Untuk pemerataan kualitas layanan pendidikan, termasuk kualitas guru akan diupayakan dengan pelatihan dan sertifikasi.
“Saat ini sudah ada sekolah rujukan yang dirancang memenuhi standar minimal, seperti adanya laboratorium, internet, dan sarana prasarana lain. Kualitas guru pun jadi indikator. Nantinya, sekolah rujukan ini yang akan menjadi contoh bagi sekolah-sekolah satelit di sekitarnya. Jika memungkinkan, kami akan lakukan pertukaran guru agar kualitasnya bisa merata,” ujarnya.