RUU Hukum Pidana Abaikan Suara dan Kepentingan Perempuan
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kalangan aktivis perempuan terus mendorong pemerintah dan DPR agar memperbaiki sejumlah pasal dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana yang berpotensi mengkriminalisasi perempuan, anak, dan kaum marjinal. Perbaikan tersebut penting karena RUU tersebut masih mengabaikan suara dan kepentingan perempuan, anak, dan kelompok marjinal.
Riset yang dilakukan Jurnal Perempuan maupun riset dari ahli yang dimuat dalam Jurnal Perempuan 97 memperlihatkan ada potensi permasalahan baru yang akan dihadapi perempuan terkait penerapan RUU Hukum Pidana. Misalnya, perempuan korban dan perempuan yang memiliki kendala untuk mengakses identitas hukum justru berpotensi mengalami kriminalisasi.
Bahkan keberadaan pasal perlindungan bagi perempuan yang ada dalam RUU Hukum Pidana juga dapat menjadi faktor kriminogen yang bisa membuat perempuan korban beralih menjadi pelaku tindak pidana.
Harapan ini mengemuka dalam dialog tentang Hukum Pidana dan Ketimpangan Jender yang dilaksanakan Jurnal Perempuan dan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) di ruang Kapoksi Demokrat DPR, di Jakarta, Selasa (4/8/2018).
Dialog ini dibuka oleh Hetifah Sjaifudian (Presidium Kaukus Perempuan Parlemen), Yuniyanti Chuzaifah (Komisioner Komnas Perempuan), dan Atnike Nova Sigiro (Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan). Dalam dialog itu, Erma Suryani Ranik (Wakil Ketua Komisi III DPR) membagikan informasi seputar proses dan substansi pembahasan RUU Hukum Pidana terutama pasal yang terkait perempuan, sedangkan Mariana Amiruddin (Komnas Perempuan) berbicara soal tindak pidana zina, kerentanan perempuan, dan stigma gerakan perempuan. Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto menyampaikan pemikirannya soal hukum sebagai instrumen distribusi keadilan harus memuat pengalaman perempuan, dan Bella Sandiata dari Jurnal Perempuan berbicara soal perempuan berhadapan dengan hukum.
Dalam dialog tersebut juga dibahas, kajian terhadap penerapan pasal perzinaan yang dinilai tidak mampu memberikan keadilan dan memenuhi hak perempuan korban. Karena, aturan hukum pidana maupun mekanisme penanganan korban justru membuat perempuan korban kekerasan berbasis jender kembali menjadi korban. Sementara itu, rancangan hukum pidana yang baru belum sepenuhnya berorientasi pada kepentingan korban.
Dalam JP 97 yang diterbitkan 2 Mei 2018 yang berjudul Hukum Pidana dan Ketimpangan Jender, memuat berbagai tulisan dari kalangan akademisi dan aktivis perempuan, terkait RUU Hukum Pidana yang saat ini dalam proses legislasi di DPR. Misalnya, soal rumusan Pasal 488 RUU Hukum Pidana yang menurut Lidwina Inge Nurtjahjo (Program Studi Kajian Gender, Sekolah Kajian Strategis dan Global Universitas Indonesia) merupakan potret kegagalan membawa persoalan akses perempuan atas identitas hukum.
Pada rumusan draf Pasal 488 RUU Hukum Pidana, ancaman pidana dijatuhkan baik kepada laki-laki maupun perempuan yang ditemukan tinggal bersama tanpa ikatan yang sah. Sekilas, pasal tersebut tampak bersifat obyektif, tetapi ada beberapa yang tidak terakomodasi di dalam pasal tersebut. Misalnya dari penelitian di beberapa wilayah memperlihatkan pengalaman perempuan tergantung pada latar belakang budaya, sosial, ekonomi, politik, dan geografis, dan banyak unsur lain.
Hukum adat
Faktanya di tengah masyarakat masih banyak relasi antara perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat yang tinggal bersama karena pernikahan adat, tanpa dicatat menurut hukum negara. Pasal tersebut akan berdampak pada pasangan seperti itu. “Bagi perempuan hal itu bukan sesuatu yang menguntungkan, karena pandangan patriarki dalam hukum adat,” kata Sulistyowati.
Karena itu ketika hukum adat harus diformalisasi dalam negara, hal itu justru akan menjadi persoalan karena secara alamiah saja sudah terjadi percampuran hukum adat dengan hukum negara. Contoh kasus, di Sumatera Barat meskipun mayoritas beragama Islam ketika ada sengketa waris mereka tidak membawa ke pengadilan syariah, tetapi membawa ke pengadilan negeri. Karena mayoritas putusan hakim pengadilan negeri diikuti, bahkan dianggap penjaga adat.
Karena itulah, dalam diskusi tersebut semua berharap agar DPR dan pemerintah sebaiknya menunda pengesahan RUU Hukum Pidana tersebut dan memperbaiki pasal-pasal yang berpotensi kriminalisasi perempuan.
Erma menyatakan proses RUU Hukum Pidana masih panjang, masih ada peluang untuk memperbaiki pasal-pasal yang dinilai berpotensi kriminalisasi terhadap perempuan, anak, dan kaum marjinal. “Masih bisa diperbaiki, direformulasi masih bisa. Jalannya melalui pemerintah,” kata Erma.