JAMBI, KOMPAS – Meski telah didaftarkan sebagai warisan budaya dunia, kompleks percandian Muaro Jambi di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, terus mengalami kemunduran pengelolaan. Pariwisata massal serta maraknya industri di tengah kawasan cagar budaya itu kian mempercepat kerusakan situs.
Tim Ahli Cagar Budaya Nasional Junus Satrio mengatakan, sejak diusulkan sebagai Warisan Budaya Dunia, peninggalan Agama Buddha Abad VII hingga XIV tersebut malah kian mengkhawatirkan keberadaannya. Situs makin terancam rusak akibat maraknya industri batubara dan pengolahan sawit. “Terjadi kemunduran dalam pengelolaan. Situs akan semakin cepat rusak,” ujarnya, Senin (3/9/2018).
Industri sawit dan batubara sejak lima tahun terakhir memadati kawasan di sekitar kompleks percandian. Industri-industri itu berkembang pesat karena lokasinya dekat dengan Pelabuhan Talang Dukuh. Sejumlah candi dan menapo (tumpukan bata berstruktur candi) bahkan berada persis di tengah-tengah lokasi pabrik dan areal penimbunan batubara.
Menurut Junus, partikel-partikel debu dari batubara setempat mempercepat kerusakan candi. Padahal, sebagai kawasan cagar budaya, semestinya situs itu dirawat agar awet hingga ribuan tahun ke depan.
Ia juga mengkritik pemerintah di daerah yang mengelola pariwisata massal di sana. Dibukanya persewaan sepeda dan jasa becak belakangan ini telah mendatangkan makin banyak wisatawan.
Namun, lalu lintas kendaraan itu tidak diatur sehingga menyebabkan kepadatan berlebih di tengah-tengah kompleks utama cagar budaya. Pengemudi sepeda kerap didapati melindas menapo. Tak jarang pula wisatawan memarkir kendaraannya masuk ke tengah kompleks Candi Gumpung.
Hal yang lebih parah, lanjut Junus, kompleks candi itu dimanfaatkan kegiatan pasar malam. Berbagai jenis permainan mulai dari komedi putar hingga tong setan dipasang di tengah kompleks. “Artinya, kawasan cagar budaya ini malah dijadikan atraksi, bukan lagi sebagai sarana pembelajaran sejarah,” tuturnya.
Kompleks percandian Muaro Jambi seluas 3.981 hektar telah masuk ke dalam daftar tentatif Warisan Budaya Dunia sejak 6 Oktober 2009. Tiga situs lainnya yang diusulkan bersama-sama Muaro Jambi adalah Situs Bawomataluo, Candi Muara Takus dan Situs Prasejarah Maros-Pangkep.
Rencana pengelolaan
Sebagai prasyarat penetapan warisan budaya, lanjutnya, diperlukan sejumlah upaya rencana dan aksi pengelolaan. Pemerintah daerah misalnya harus segera membentuk tim ahli cagar budaya di tingkat kabupaten maupun provinsi. Selanjutnya, daerah menetapkan situs itu sebagai kawasan cagar budaya lewat terbitnya peraturan daerah. Akan tetapi, hingga hampir 10 tahun kemudian, belum satu pun dari syarat tersebut dijalankan daerah.
Menurut arkeolog dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi, Rusmeijani Setyorini, pihaknya telah mendorong agar kawasan konservasi arkeologis itu segera dimasukkan ke dalam rencana tata ruang kabupaten maupun provinsi. Hingga kini, pengalokasian wilayah yang dimaksud belum ada.
Warga lokal sekaligus pemandu wisata Muaro Jambi, Ahok, mengatakan masyarakat sebenarnya mendukung penetapan Muaro Jambi sebagai warisan budaya dunia. Bahkan, sejak awal masyarakat selalu menjaga kelestarian situs. Warga tak mau merusak struktur candi yang ada di sekitar kebun mereka.
Mereka malah bersedia membantu upaya penelitian, ekskavasi, hingga pemugaran candi. Mereka pun kerap membersihkan sampah-sampah yang bertebaran. “Tapi itu saja kan tidak cukup. Kami mengharapkan keseriusan pemerintah untuk mengangkat Muaro Jambi,” katanya.
Kunjungan wisatawan ke Candi Muaro Jambi terus meningkat. Tahun ini, tingkat kunjungan rata-rata 7.000 orang, pada masa Lebaran lalu kunjungan membludak hingga hampir 30.000 wisatawan dalam sepekan.