Ketua Dewan Pers: Pers Harus Jadi ”Wasit” yang Adil
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pers Indonesia harus bisa menjadi wasit dan pembimbing yang adil serta pengawas yang teliti dan saksama terhadap pelaksanaan Pemilu 2019. Karena itu, dalam pemilu, pers tidak boleh menjadi ”pemain” yang menyalahgunakan ketergantungan masyarakat terhadap media.
Demikian diungkapkan Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo atau Stanley mengutip butir keempat deklarasi Hari Pers Nasional 2014 di Bengkulu dalam Surat Edaran Dewan Pers No 02/SE-DP/VIII/2018 tentang Posisi Media dan Imparsialitas Wartawan dalam Pemilu 2019 yang diterbitkan pada 16 Agustus 2018. Stanley tak memungkiri bahwa dicalonkan ataupun mencalonkan diri sebagai anggota legislatif (caleg) merupakan hak asasi setiap warga negara, termasuk wartawan.
Meski demikian, dalam posisinya sebagai ”wasit” atau pengawas, perlu ditegaskan kembali bahwa setiap wartawan yang akan maju menjadi caleg atau tim sukses partai politik maupun pasangan calon presiden/wakil presiden harus segera mundur sementara atau mundur permanen sebagai wartawan. Sebab, dengan mencalonkan diri atau menjadi anggota timses, seorang wartawan telah memilih untuk berjuang bagi kepentingan politik pribadi atau golongan, bukan kepada publik.
”Tugas utama wartawan adalah mengabdi pada kebenaran dan kepentingan publik. Ketika seorang wartawan memutuskan menjadi caleg atau anggota tim sukses, yang bersangkutan telah kehilangan legitimasi untuk kembali pada profesi jurnalistik,” kata Stanley, Senin (20/8/2019), di Jakarta.
Ketika seorang wartawan memutuskan menjadi caleg atau anggota tim sukses, yang bersangkutan telah kehilangan legitimasi untuk kembali pada profesi jurnalistik.
Penuhi hak publik
Menyikapi situasi menjelang Pemilu 2019, Dewan Pers menegaskan kembali kewajiban pers dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yaitu memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui (Pasal 6 Butir a), mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar (Pasal 6 Butir c), melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum (Pasal 6 Butir d), serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran (Pasal 6 Butir e).
Sesuai Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik, setiap wartawan juga wajib bersikap independen dengan memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani dan menghasilkan berita akurat yang dapat dipercaya secara benar sesuai keadaan obyektif ketika peristiwa terjadi.
Melihat perkembangan atmosfer politik akhir-akhir ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga menyerukan sejumlah pernyataan sikap. Senada dengan Ketua Dewan Pers, AJI juga mendesak agar wartawan dan media harus berusaha mendahulukan kepentingan publik dari yang lainnya.
”Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) menyatakan, ’Wartawan Indonesia bersikap independen…’. Sikap ini antara lain harus ditunjukkan dengan menjadikan pertimbangan ’apakah ini penting dan baik bagi publik’ sebagai alasan utama untuk meliput atau tidak meliput sebuah peristiwa terkait pemilihan presiden. Meski tak menutup mata bahwa media merupakan lembaga bisnis yang harus mendapatkan keuntungan ekonomi, hal itu hendaknya tidak menjadi pertimbangan utama atau satu-satunya dalam memilih tema yang akan diliput,” kata Ketua Umum AJI, Abdul Manan.
Dalam situasi apa pun, wartawan harus berusaha maksimal untuk menjaga independensinya. Contoh konkretnya, dalam memanfaakan kebebasan berekspresi di media sosial, wartawan mesti berhati-hati agar tak memengaruhi independensinya. Sebab, ekspresi wartawan di depan publik (termasuk media sosial) tentang calon tertentu akan membuat independensinya menjadi tanda tanya dan itu bisa menyulitkan wartawan dalam menjalankan profesinya.
AJI juga menegaskan, wartawan tak boleh menjadi anggota tim sukses partai atau calon presiden, baik resmi maupun tidak resmi. Sebab, menjadi anggota tim sukses dipastikan akan membuatnya tidak bisa bersikap independen.
Sikap independensi inilah yang akan menentukan profesionalitas wartawan dan media. Seperti disebutkan dalam UU No 40/1999 tentang Pers, dari tiga fungsi utama media, dua di antaranya adalah memberikan ”pendidikan” dan menjalankan ”fungsi kontrol sosial”. Karena itu, dalam konteks pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) yang mulai bergulir prosesnya tahun ini, peliputan harus mengacu pada dua fungsi itu.
”Hal itu bisa dilakukan antara lain dengan membuat liputan yang fokus pada pengungkapan rekam jejak calon, konsistensi sikap calon pada isu-isu penting, dan kredibilitasnya saat menjalankan fungsi pelayanan publik,” kata Manan.
Sementara itu, Ketua Bidang Organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sasongko Tedjo menambahkan, di internal organisasi, PWI menyerukan kepada semua anggotanya yang akan mengikuti kontestasi politik ataupun menjadi anggota tim sukses untuk wajib non-aktif sebagai wartawan. Seruan itu juga disampaikan PWI kepada semua anggotanya menjelang pemilihan kepala daerah serentak Juni lalu.