Seorang guru sedang mengajar di SD Bonaventura Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Kamis (21/11/2013). Sekolah tersebut merupakan salah satu sekolah percontohan yang menerapkan pendidikan tanpa kekerasan. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) menemukan sebagian besar anak-anak di Papua mengalami hukuman fisik di sekolah dan berupaya memutus mata rantai kekerasan itu.
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan simbolik di dunia pendidikan belum sepenuhnya dibahas. Guru dan orangtua sering tidak memahami wujud kekerasan ini sehingga tanpa disadari disalurkan kepada anak-anak. Hal ini berisiko anak memiliki pemakluman terhadap kekerasan di dalam proses tumbuh kembangnya.
”Kebanyakan orang mengira kekerasan sebatas fisik dan membentak-bentak. Padahal, wujud kekerasan beragam. Ada yang melalui perkataan santun, tetapi menyakitkan. Ada yang berupa tekanan batin, dan ada pula yang bersifat simbolik,” kata pakar pendidikan karakter Doni Koesoema di Jakarta, Senin (20/8/2018).
Kekerasan simbolik sukar dideteksi karena sudah terpatri di dalam pola pikir masyarakat. Di dalam buku teks pelajaran, misalnya, potret keluarga Indonesia yang ditampilkan selalu keluarga perkotaan dari kalangan menengah ke atas. Mereka digambarkan memiliki perabotan modern, televisi, dan mobil. Di samping itu, terdapat pula kekerasan simbolik jender, seperti ayah yang selalu bekerja dan ibu selalu berada di dapur.
”Hal ini tidak mencerminkan Indonesia yang sebenarnya dan mengakibatkan orang-orang yang tidak tampak seperti potret tersebut merasa bukan bagian dari narasi keindonesiaan,” papar Doni.
Salah satu kekerasan simbolik yang jarang didiskusikan adalah di dalam membingkai narasi perjuangan dan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan kerap langsung diartikan peperangan dan tumpah darah sehingga dalam praktik perayaan Hari Kemerdekaan simbol-simbol senjata muncul di mana-mana.
Doni mengatakan, tanpa menafikan sejarah perjuangan para pahlawan bangsa merebut kemerdekaan, harus ada sosialisasi mengenai narasi perjuangan dan kemerdekaan yang relevan dengan masa kini. Perjuangan hendaknya diartikan sebagai memberi kontribusi positif sebanyak-banyaknya kepada pembangunan bangsa.
”Di dalamnya ada narasi perdamaian dan persatuan. Undang-Undang Dasar 1945 tegas menyatakan bahwa Indonesia harus turut serta mewujudkan perdamaian dunia,” kata Doni.
Pemerintah menyayangkan
Salah satu wujud kekerasan simbolik yang menuai kecaman masyarakat adalah ketika sekelompok siswa TK di Probolinggo, Jawa Timur, melakukan kirab Hari Kemerdekaan dengan mengenakan busana bercadar dan membawa senjata. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan kunjungan ke TK yang berada di kompleks militer tersebut dan mendengarkan klarifikasi dari pihak sekolah, militer, serta masyarakat bahwa tidak ada niat ekstremisme di dalam kirab itu.
”Meskipun begitu, pemerintah menyayangkan pemakaian atribut senjata dan pakaian di siswa. Tentu ada pilihan busana nasional yang baik untuk siswa,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.
Ia mengungkapkan sudah berdialog dengan jajaran dinas pendidikan, sekolah, dan komite sekolah tentang pendidikan perjuangan yang juga bertujuan perdamaian dan persatuan. Pada acara-acara berikut hendaknya tidak ada lagi pemakaian atribut yang menuai kritik karena tidak layak dikenakan pada anak.
Pemerintah juga menemukan bahwa sekolah tersebut hanya diisi oleh 55 siswa dari keluarga militer, sementara di sekitarnya terdapat anak-anak dari keluarga sipil yang membutuhkan pendidikan. Oleh sebab itu, Kemdikbud memberikan bantuan operasional sekolah sebesar Rp 25 juta agar TK tersebut bisa memberikan pendidikan gratis bagi anak-anak kurang mampu.
Pemikiran anak
Psikolog pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Zarina Akbar, mengingatkan agar orang dewasa berhati-hati dalam menarasikan nilai dan norma sosial kepada anak. ”Anak bukan miniatur orang dewasa. Mereka belum punya kemampuan kognitif memahami permasalahan seperti remaja dan dewasa muda,” ucapnya.
Memberikan atribut senjata seperti senapan mainan, pedang-pedangan, hingga bambu runcing berbahaya terhadap pola pikir anak usia dini. Orang dewasa bermaksud menyimbolkan perjuangan kemerdekaan bangsa. Akan tetapi, daya nalar anak membuat mereka menyimpulkan bahwa perjuangan sama dengan kekerasan.
”Senjata mainan baru bisa diperkenalkan kepada anak ketika sudah berusia 8-9 tahun. Saat itu, mereka sudah mampu berpikir bahwa mainan tidak berarti membolehkan kekerasan di kehidupan nyata,” papar Zarina.