JAKARTA, KOMPAS – Generasi muda yang berasal dari keluarga kurang mampu dan rentan, termasuk perempuan dan kelompok disabilitas haruslah mendapat kesempatan dalam pembangunan. Karena itu, semua pemangku kebijakan termasuk swasta didorong untuk terlibat dalam berbagai program penguatan dan pemberdayaan di sektor tenaga kerja agar kelompok tersebut masuk di pasar kerja.
Salah satu aksi konkret adalah membekali kaum muda kurang mampu secara ekonomi dan rentan yang disesuaikan dengan minat, bakat, serta kebutuhan pasar kerja. Hal tersebut akan tercapai jika ada jejaring kebijakan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang menyusun rencana aksi inovatif bersama untuk meningkatkan akses informasi dan pelatihan kerja yang berkualitas.
Hal ini terungkap dalam Dialog Nasional Ketiga dengan tema “Kelompok Aksi SINERGI dan Kunci Koordinasi Ketenagakerjaan Insklusif Indonesia”yang digelar Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) di Jakarta, Selasa (14/8/2018). Kegiatan tersebut merupakan kerjasama dengan Konsorsium Sinergi (proyek USAID-Mitra Kunci yang dilaksanakan Konsorsium Rajawali Foundation dan Pusat Transformasi Kebijakan Publik).
Tampil sebagai pembicara Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas pada Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia Bambang Satrio Lelono dan Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kementerian PPN/Bappenas Pungky Sumadi, dan Direktur Proyek SINERGI Agung Binantoro.
Hadir juga narasumber Mahatmi P Saronto (Direktur Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian PPN/Bappenas), Bambang Wicaksono (Project Leader SINERGI), Teguh Hadi (Kabag Program Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah), Roy Wibisono (perwakilan PT Nuanza Porcelain Boyolali/ Bidang Program POKSI), dan Zaenab (perwakilan kaum muda Semarang, Jateng).
Menurut Agung, Proyek SINERGI merupakan program pengarusutamaan generasi muda kurang mampu dan rentan (usia 18-34 tahun) dengan mempertimbangkan perempuan, isu kesetaraan jender, dan penyandang disabilitas ke dalam pasar kerja. Hal tersebut dilakukan dalam bentuk penguatan koordinasi antarpemangku kebijakan. Saat ini proyek SINERGI dilakukan di Kota dan Kabupaten Semarang, Kabupaten Boyolali, dan Demak sejak Oktober 2017 hingga Desember 2018 dengan sasaran awal 400 kaum muda kurang mampu dan rentan (termasuk kaum difabel).
“Salah satu wujud dari program tersebut di antaranya membekali kaum muda kurang mampu secara ekonomi dan rentan yang disesuaikan dengan minat, bakat, serta kebutuhan pasar kerja,” kata Agung.
Kemiskinan
Teguh Hadi, mengungkapkan populasi penduduk miskin di Jateng masih cukup tinggi yakni sebesar 11,32 persen. Untuk mengatasi masalah kemiskinan ini, perlu kerjasama semua pihak. Namun ketika berbicara soal data terpadu terkait kependudukan, menurut Teguh sejak Indonesia merdeka hingga 2015, kegiatan verifikasi dan validasi baru dilakukan tahun 2015.
Seharusnya data yang diperoleh tahun 2015 bisa digunakan bersama untuk penanggulangan kemiskinan. Namun dia mengakui, data yang dimiliki saat ini bisa berbeda-beda, misalnya antara data sensus penduduk dan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK).
Direktur Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian PPN/Bappenas Mahatmi P Saronto mengungkapkan selama ini anggaran yang dimiliki negara terbatas, bahkan berapa angka tepatnya pengangguran selama ini tidak ada.
Karena itu, Bambang Satrio berharap dialog nasional tersebut dapat turut membantu mengembangkan jejaring kebijakan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota guna menyusun rencana aksi inovatif bersama bagi upaya meningkatkan akses informasi dan pelatihan kerja yang berkualitas.
“Jejering tersebut penting guna memberikan kesempatan pada kaum muda kurang mampu secara ekonomi secara ekonomi dan rentan, termasuk perempuan dan penyandang disabilitas, guna memasuki dunia kerja,” ujar imbuh Bambang.
Adapun pelatihan yang diberikan dalam Proyek SINERGI dilakukan dengan menggunakan kurikulum yang diselaraskan dengan rencana pemagangan kerja. Bentuknya pertemuan khusus antara BLK, pemuda, dan perusahaan untuk disinkronkan modul pelatihan apakah sudah sesuai dengan kebutuhan industri perusahaan. Selain itu, ada 4 jenis kurikulum yang terkait bidang tertentu.
Penguatan koordinasi
Dari dialog tersebut, Pungky Sumadi juga berharap ada penguatan koordinasi di tingkat provinsi yang diwujudkan dengan terbentuknya struktur koordinasi di dalam kelompok aksi (poksi) untuk koordinasi ketenagakerjaan inklusif di Indonesia. Adapun Poksi tersebit terdiri atas tiga pilar utama koordinasi, yaitu: Pemuda, Pemerintah dan Perusahaan (3P).
Poksi tersebut juga menjadi model pendekatan yang efektif dan efisien dalam membangun koordinasi dan kolaborasi antara tiga pilar tersebut dalam pengembangan angkatan kerja inklusif bagi kaum muda yang kurang mampu dan rentan di negeri ini.
Pembentukan Poksi tersebut juga diharapkan selaras dengan pendekatan yang dilakukan dalam Proyek SINERGI.
Pada acara tersebut, baik Roy Wibisono maupun Zaenab menyampaikan pengalaman-pengalaman selama ini dalam menggerakkan pemuda untuk bekerja. Roy mengungkapkan pengalamannya sebelum memiliki usaha porselin menjadi loper koran. Karena itu dia bertekad untuk memberikan pelatihan kepada anak-anak muda dengan melihat potensi dan keahlian yang dimiliki, tidak melihat kelemahan.
Misalnya ketika seorang mengalami disabilitas kaki sebenarnya memiliki kekuatan yang tidak dimiliki orang lain yakni kemampuan duduk dan mengamati. Potensi seperti itu bisa didorong untuk dimanfaatkan dalam dunia kerja. Hal senada juga disampaikan Zaenab yang mengungkapkan bagaimana mendorong kaum muda berkarya. Ia mencontohkan ada komunitas disabilitas di Semarang yang menghasilkan kerajinan.