JAKARTA, KOMPAS – Mantan Presiden BJ Habibie menggelar konser “Simfoni untuk Perempuan” dan pembacaan monolog untuk merayakan ulang tahun ke-81 mendiang Hasri Ainun Besari, Sabtu (11/8/2018) malam, di Jakarta. Kecintaan Ainun kepada musik dan sastra dinterpretasi ulang komposer Ananda Sukarlan dan penyair Putu Fajar Arcana dalam sebuah karya kolaborasi tentang identitas perempuan Indonesia.
“Saya tak pernah sekali pun lupa memberi kado untuk Ainun setiap tanggal 11 Agustus pada pukul 00.00. Bahkan, saya sengaja terbangkan (pesawat) N-250 pada 10 Agustus (1995) supaya malamnya saya bisa katakan kepada Ainun, itu kado buatnya,” kata Habibie saat menyaksikan konser “Simfoni untuk Perempuan” yang bertempat di Perpustakaan Habibie dan Ainun, Jakarta, Sabtu (11/8/2018).
Ruangan kerja Habibie ada di sebelah utara perpustakaan itu. Dahulu, ia sering dimarahi Ainun karena bekerja di tempat itu hingga larut malam. “Ainun tidak suka jika saya tidur di sana, mungkin dia ingin kami punya lebih banyak waktu untuk berdua,” kenang Habibie sambil tersenyum.
Di perpustakaan seluas lapangan basket itulah Ananda Sukarlan membuka pertunjukkan dengan variasi lagu “Kasih Ibu” ciptaan SM Mochtar melalui permainan pianonya. Warna keemasan sinar matahari sore dan coklat kayu lemari-lemari buku menambah khidmat perayaan ulang tahun mendiang Ainun.
Pertunjukkan itu jauh dari kesan mewah apalagi meriah meskipun menampilkan seniman-seniman terkemuka tanah air. Di perpustakaan yang sebenarnya terlalu kecil untuk menampung orkes kamar itu, pertunjukkan justru berlangsung lebih personal, mengesankan keseriusan para penampil menghadirkan kado paling spesial bagi Ainun yang telah tiada.
Selain Ananda Sukarlan, tampil pula Adam Cordle, pemain viola asal Amerika Serikat. Musik dari biola altonya yang berat dan dalam membuat penonton, yang jumlahnya tidak lebih dari 50 orang, semakin larut dalam kenangan tentang Ainun pada sore itu. Di ruangan kecil itu, tanpa pengeras suara, lengkingan viola milik Adam terasa lebih bernas dan lugas.
“Saya sengaja mengajak Adam untuk memainkan komposisi musik klasik Indonesia melalui permainan viola yang langka dipertunjukkan di tanah air,” ujar Ananda. Ia merasa nilai-nilai Indonesia dalam lagu tradisional, misalnya Kasih Ibu dan Lir Ilir, memberikan identitas Indonesia kepada musik klasik yang selama ini kerap dipandang mutlak budaya barat.
Pada puncak acara, aktris Maryam Supraba membacakan monolog yang berjudul “Simfoni Mata yang Indah” karya Putu Fajar Arcana. Dengan mengenakan kebaya putih dan jarik khas perempuan jawa, Maryam menghadirkan kembali sosok keibuan Ainun yang nampak sederhana dan lembut, tetapi berhati kuat dan tegas.
Monolog itu bukan tentang kematian yang cengeng dan menyedihkan. Ainun memang telah tiada, tetapi ia tidak mati sia-sia. “Rudi, kini aku kembali kepada ibu pertiwi. Kematian tak menghentikan kasih dan cintaku pada anak cucu kita,” seru Maryam dalam pembacaan monolognya.
Mata Maryam menatap tajam Habibie yang berada di bangku paling depan. Dialog itu terasa begitu dekat dan hangat, Maryam memanggil Habibie dengan sebutan “Rudi”, sama dengan Ainun biasa memanggilnya. Ketika disapa “Rudi”, Habibie memegang syal putih yang membungkus lehernya.
“Ini kerudung Ainun yang terakhir ia pakai sebelum pergi. Saya selalu membawanya, bahkan meletakkannya di bawah bantal ketika saya tidur,” ucap Habibie. (PANDU WIYOGA)