JAKARTA, KOMPAS - Penerapan sistem zonasi sekolah jangan hanya dilihat sebagai upaya pemerataan mutu hasil belajar siswa dengan menghadirkan sekolah berkualitas. Semangat sistem zonasi juga seharusnya dilihat sebagai upaya untuk mewujudkan sekolah inklusif, yakni sekolah yang menerima keberagaman siswa dari berbagai latar belakang.
Ubaid dari Jaringan Pemantai Pendidikan Indonesia (JPPI) di Jakarta, Senin (23/7/2018), mengatakan di tengah beragam masalah implementasi zonasi sekolah dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) sejak dua tahun ini, ada keyakinan positif zonasi sekolah sebenarnya punya tujuan baik bagi reformasi sistem persekolahan. "Evaluasi perlu terus dilakukan untuk perbaikan. Acuan pelaksanaan zonasi perlu disinkronisasikan untuk mencapai tujuan baik yang diinginkan pemerintah agar selaras dengan masyarakat," kata Ubaid.
Menurut Ubaid, zonasi juga memberikan peluang terciptanya keragaman di sekolah. Ada aturan supaya sekolah menerima pula siswa dari keluarga tidak mampu, anak berkebutuhan khusus, anak dari luar zonasi karena perpindahan orang tua, selain memprioritaskan siswa dari zonasi tersebut.
Namun, nyatanya di lapangan belum seperti yang diharapkan. Bahkan, di Permendikbud 14/2018, kuota afirmasi untuk anak berkebutuhan khusus tidak ada. Padahal, di tahun sebelumnya ada. Kekonsistenan untuk kebijakan yang baik, yang menjadikan sekolah inklusif, seharusnya tetap jadi prioritas," ujar Ubaid.
Secara terpisah, Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo mengatakan keragaman di sekolah sebenarnya bisa semakin terwujud dengan sistem zonasi sekolah. Ada ketentuan untuk menerima siswa dari zonasi, ada kuota afirmasi bagi anak berkebutuhan khusus, anak dari keluarga tidak mampu, serta anak dari luar zoonasi. Di sekolah akan ada beragam anak dengan berbagai latar belakang SARA dan sosial ekonomi.
Sekolah dengan keragaman jadi kekuatan. Praktik baik toleransi di sekolah perlu ditemukan. Anak-anak akan belajar berkomunikasi dan bekerja sama dengan nyaman, bukan lagi dengan rasa sling curiga," ujar Henny.
Menurut Henny, semua pihak harus kembali pada semangat dari dilaksanakannya zonasi. Berbagai implementasi yang kurang harus diperbaiki dengan mengacu pada semangat awal untuk membuat pemerataan sekolah di semua tempat berjalan.
Henny mengatakan keberagaman di sekolah seharusnya bisa menjadi kekayaan sumber belajar bagi anak Indonesia. Untuk itu, para guru perlu didukung dalam menyebarkan semanagt keragaman, kebangsaan, dan kemanusiaan. Dukungan itu, salah satunya lewat Sekolah Guru Kebhinekaan atau SGK dan SGK Lanjutan yang digagas Yayasan Cahaya Guru.
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia mengatakan sekolah inklusif harus jadi semangat peneyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah. Hal ini dimulai dari komitmen sekolah dan guru untuk menghargai tiap individu anak yang berbeda dalam melaksanakan pembelajaran. Selain itu, terus mengobarkan semangat persatuan dan kesatuan di tengah perbedaan dengan juga mengenalkan kekayaan budaya dan masyarakat Indonesia yang beragam.