Kader Surau Diminta Bentengi Kampus dari Ideologi Ekstrem
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pelatihan kader pengurus mesjid kampus merupakan salah satu langkah untuk membentengi paham ekstrem agar tidak memasuki lingkungan perguruan tinggi. Mahasiswa yang aktif dalam kegiatan di masjid kampus serta organisasi berbasis agama hendaknya dipastikan memiliki wawasan Nusantara dan semangat Pancasila.
Prinsip tersebut mendasari penyelenggaraan Beasiswa Kader Surau yang diberikan oleh Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemko PMK) bekerja sama dengan Yayasan Baitul Maal BRI. Program beasiswa berjalan sejak tahun 2015. Pada tahun 2018 ada 395 mahasiswa semester III dari 18 perguruan tinggi negeri yang menjadi penerima beasiswa.
Deputi Bidang Koordinator Pendidikan dan Agama Kemko PMK Agus Sartono mengatakan, para penerima beasiswa adalah mahasiswa dari kalangan ekonomi tidak mampu. "Akan tetapi, kami juga menerapkan syarat yang ketat seperti indeks prestasi kumulatif minimal 3, hafal setidaknya satu juz Alquran, aktif di organisasi kampus, dan pengurus mesjid kampus," katanya pada acara orientasi penerima beasiswa di Jakarta, Jumat (20/7/2018).
Selain merupakan bantuan untuk kesetaraan akses akademik, katanya, Beasiswa Kader Surau memang spesifik untuk membentuk pengurus masjid kampus yang memiliki wawasan Pancasila, kritis, serta mampu berperan sebagai pendamping bagi sesama rekan mahasiswa. Hal ini penting karena pada masa kuliah terjadi kontestasi ide, termasuk pemahaman tentang agama.
"Masjid jangan sampai menjadi tempat untuk penyebaran ajaran intoleran, apalagi ekstrem. Para kader surau ini yang memastikan kegiatan di masjid bersifat sejuk dan mencerahkan," ujarnya.
Mahasiswa radikal
Dalam orientasi tersebut terdapat materi pengayaan dari Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Irfan Idris. Ia meluruskan terminologi radikal. Sejatinya, radikal berarti memahami sesuatu secara menyeluruh, obyektif, dan universal.
"Justru, seorang mahasiswa harus menganut prinsip radikal. Artinya, mahasiswa dituntut untuk banyak membaca, menganalisa, berpikiran terbuka, serta kritis menghadapi segala sesuatu," kata Guru Besar Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin tersebut.
Ia menjelaskan, masyarakat, termasuk mahasiswa, seringkali salah mengartikan prinsip radikalisme. Umumnya mereka baru membaca dari satu sumber dan langsung terbakar emosinya tanpa mencari rujukan lain untuk perbandingan dan melakukan diskusi dengan berbagai pihak untuk memperluas sudut pandang.
Perilaku emosional ini yang membuat seseorang terpengaruh oleh ideologi ekstrem. Apabila tidak segera diintervensi, berisiko terjerumus ke dalam pemahaman teror. Pemahaman ini menyetujui kekerasan sebagai cara mendapat tujuan yang diinginkan dan kebenaran hanya milik satu pihak. Orang lain yang berseberangan pendapat dianggap sebagai musuh yang harus disingkirkan.
"Dalam prinsip agama Islam, manusia harus membaca dan membangun argumen. Berdiskursus dan berbeda pendapat merupakan suatu keniscayaan," paparnya.
Irfan mengatakan, pola ekstremisme di zaman sekarang tidak lagi tertutup seperti 10 tahun lalu. Dahulu, seseorang perlahan menjadi ekstrem melalui kontak langsung dengan orang-orang dari kelompok intoleran. Kontak bisa berlangsung di lingkungan tempat tinggal, kampus, dan lembaga keagamaan. Proses seseorang menjadi simpatisan terorisme, bahkan terorisme melalui pembaiatan berlangsung tertutup.
Sekarang, ideologi ekstrem beredar bebas di dunia maya. Semua orang berisiko terpapar pemahaman pro kekerasan ini ketika mengakses media sosial. Simpatisannya tidak lagi bekerja berkelompok, bahkan ada pula yang bertindak secara individual.
"Ini tantangan bagi kader surau untuk memastikan kegiatan rohani di kampus atau pun di wilayah tempat tinggal tidak disusupi pemahaman ekstrem," ucap Irfan.
Dalam hal ini, para kader surau juga diimbau memiliki kesadaran membangun literasi di masyarakat agar tidak mudah terpengaruh nilai-nilai anti Pancasila dan anti kebangsaan Indonesia yang disamarkan dalam bentuk siraman rohani.