Suka Hardjana, klarinetis, konduktor dan komposer, eseis, pemikir, dan pedagog telah wafat, namun para sahabat tetap ingin mengenang maestro yang penuh talenta ini. Peringatan 100 hari wafat Suka diadakan di Galeri Cemara, Menteng, Jakarta, Sabtu (14/7) petang.
Wartawan senior Efix Mulyadi dalam kesannya mengingat, bahwa mendiang Suka adalah sosok yang galak. Namun sifat ini ternyata berguna untuk mendorong wartawan peliput seni budaya untuk meningkatkan pengetahuan di bidang kebudayaan. Selain Efix, tokoh yang ikut memberi kesan adalah Romo Mudji Sutrisno, Julianti Parani, dan Sri Warso Wahono.
Mudji menyebut mendiang Suka meski mumpuni dalam pendidikan seni Barat, juga menaruh perhatian besar pada bidang etnomusikologi. Almarhum juga rajin menulis relasi etnomusikologi dengan musik klasik, menjadikan dirinya sebagai jembatan antara keduanya.
Acara Mengenang Suka Hardjana yang diprakrsai oleh pendiri Galeri-Museum Cemara 6 Toeti Heraty Roosseno ditandai pula dengan misa yang dipimpin oleh Romo Edyanto MSF, yang dalam homili menyebut almarhum sebagai sosok yang bersyukur sesuai dengan keberuntungan yang dibawa oleh namanya, yakni Bonaventura.
Suka Hardjana yang lahir pada 17 Agustus 1938 di Yogyakarta tutup usia pada 7 April 2018. Suka yang meninggalkan seorang istri, Anastasia Mugiyarsi, dan seorang putera, Ario Seto (sosiolog), sempat memperdalam studi musik di Jerman, dan kemudian juga memperdalam seni memimpin orkestra (conducting) di AS.
Di antara buku yang ditulisnya adalah Estetika Musik-Sebuah Pengantar (2018) dan Prof Dr Mickey Mouse dan Human Error – Percikan Kebijaksanaan (2017). Hingga akhir hayatnya, Suka rajin memberi bimbingan dan konsultasi di bidang seni budaya, kegiatan yang oleh wakil keluarga, Hari Nugroho, melahirkan kesan almarhum adalah sosok pemusik, pemikir dan pendidik yang konsisten dan bahkan militan.