SURABAYA, KOMPAS - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Oesman Sapta Odang meminta pemerintah memberi perhatian kepada problem PTS (Perguruan Tinggi Swasta) dengan lebih banyak memberi kemudahan pengelolaan lembaga, pemberdayaan tenaga pengajar dan akses pada kesempatan mengembangkan kemampuan akademik.
Komunitas PTS merasa dianaktirikan karena selama ini PTN yang selalu mendapat fasilitas, padahal sudah banyak bantuan diberikan kepada PTN, hingga PTS merasa dianaktirikan.
Oesman mengatakan itu di Surabaya, disela-sela Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI), sementara Universitas Narotama menjadi tuan rumah kegiatannya, Senin-Selasa (16-17/7/2018) di Surabaya.
“Pada era yang sering disebut Revolusi Industri ke-4, globalisasi telah memaksa manusia berubah, pada saat mana individu, institusi, korporasi dan negara terkoneksi satu dengan yang lain,” katanya.
PTS juga mendapat tantangan yang sama, karena harus mampu meningkatkan kemampuan berkompetisi.
“Tidak ada kemakmuran suatu bangsa kalau daerah-daerah tidak dapat meningkatkan kemampuannya. Daya saing daerah tersebut akan menjadi akumulasi dari daya saing negara. Keunggulan komparatif daerah, akan menadi keunggulan nasional saat terkoneksi dengan dunia global. PTS menghasilkan manusia berkjualitas di daerah. PTS juga berperan membangun kemandirian ekonomi, juga memasok birokrat dan mendukung politik daerah,” katanya.
Ketua pengurus pusat ABPPTSI, Thomas Suyatno mengatakan, ada lebih dari 4.000 PTS se tanah air, dan amat memerlukan perhatian pemerintah. Diantara yang muncul dalam dialog Osman Sapta Odang dengan peserta Rakerna, termasuk keluhan tentang Pajak Bumi Bangunan (PBB).
Sejumlah pengurus ABPPTSI mengharapkan pemerintah bisa membebaskan PBB yang nilainya besar bagi PTS di daerah. Padahal PTS juga memiliki peran konstitusional sebagai pelaku pencerdasan kehidupan bangsa.
“Kami berharap DPD bisa memperjuangkan kepentingan PTS. Yakni, bantuan pengajar ASN ke kampus swasta,” katanya.
Suyatno mengatakan, era disrupsi Revolusi Industri ke-4 ini, norma-norma pengelolaan pendidikan PT jadi tidak lagi cocok. Pengelolaan perguruan tinggi dengan metode lama sudah tidak lagi tepat dan tidak akan bisa berhasil jika dilaksanakan di era ini.
Dirjen Kelembagaan, IPTEK, dan Dikti Kemenristekdikti, Patdono Suwignjo dan Dirjen Sumber Daya, IPTEK, dan Dikti, Ali Ghufron Mukti yang hadir sebagai pembicara mengungkapkan perubahan yang harus dilakukan oleh dunia pendidikan tinggi.
Patdono menyebutkan dua perubahan dunia pendidikan tinggi seiring dengan terjadinya Revolusi Industri 4.0 di era disrupsi ini. Yang pertama adalah sistem online learning dan perubahan kebutuhan lapangan pekerjaan.
“Sistem online learning terus berjalan pesat, di dalam maupun di luar negeri. Indonesia pun sudah tidak bisa menghindar, sehingga mulai tahun depan akan lebih banyak lagi penyelenggara online based learning,” katanya.
Sistem online learning juga menjadi jembatan yang akan membantu pendidikan tinggi untuk masuk ke pelosok negeri yang tidak memiliki gedung perkuliahan. “Namun tantangannya ada pada infrastruktur internet yang harus diperbaiki dengan sempurna,” lanjut Patdono.
Kemenristekdikti mendorong perguruan tinggi negeri maupun swasta untuk menyiapkan diri dan melaksanakan sistem online learning. “Ada baiknya dilakukan dengan pembuatan konsorsium oleh PTN dan PTS, sehingga lebih mudah dalam persiapan sistem dan infrastrukturnya,” tambahnya.
Sedangkan dari segi perubahan kebutuhan kompetensi di lapangan pekerjaan, Patdono mengatakan saat ini lapangan kerja lebih fokus pada teknologi. Sehingga perguruan tinggi pun harus mulai mengkritisi kurikulum agar lulusannya fit dengan lapangan kerja.