Kisah cinta Panji Asmarabangun dan Dewi Sekartaji menjadi abadi di Candi Penataran, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Di dinding pendopo teras candi terpahat kisah yang kemudian menginspirasi ratusan kisah turunan tentang keteguhan memegang janji dan kasih sayang yang mengalir dari sendang kehidupan. Semuanya mengandung pesan moral kebajikan menjadi penguasa dan rakyat jelata.
Dalam relief batu di candi yang diperkirakan didirikan saat pemerintahan Raja Srengga dari Kerajaan Kadiri (1200 M) digambarkan Panji Asmarabangun (Raden Inu Kertapati) sedang mengirimkan surat kepada Dewi Sekartaji (Galuh Candrakirana) melalui seekor burung kakaktua bernama Jaruman Atat. Panji Asmarabangun berasal dari Kerajaan Jenggala, sedangkan Dewi Sekartaji dari Kadiri. Kedua kerajaan ini dipecah leluhur mereka, Raja Airlangga, yang tidak ingin terjadi peperangan karena pembagian wilayah bekas Kerajaan Mataram.
Relief di Candi Penataran hanya salah satu dari banyak bukti tumbuhnya peradaban panji di Nusantara, terutama di Jawa Timur. Arkeolog Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, mengatakan, Prasasti Pabanyolan yang ditemukan di Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jatim, menjadi bukti lain keberadaan panji. Prasasti tembaga berangka tahun 1303 Saka atau 1381 Masehi ini menjadi prasasti yang unik.
”Umumnya prasasti berisi maklumat raja soal tanah perdikan, tetapi Prasasti Pabanyolan berisi sinopsis cerita panji,” kata Dwi Cahyono, pekan lalu, di Malang.
Sebenarnya, menurut peneliti asal Jerman, Lydia Kieven, kisah panji bisa dilihat dalam tiga bentuk. Dalam bukunya, Menelusuri Panji dan Sekartaji (2018), Lydia menyebut bentuk panji sebagai sastra lisan, seni (pertunjukan dan visual), serta ritual. Ketiga bentuk panji itu kemudian menjadi semakin tampak saat pergelaran Festival Panji Internasional yang berlangsung pada 27 Juni hingga 13 Juli 2018 di beberapa kota di Indonesia. Festival internasional yang antara lain melibatkan Indonesia, Thailand, dan Kamboja ini berlangsung di kota-kota persebaran kisah panji, seperti Denpasar, Pandaan, Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Yogyakarta, dan Jakarta. Salah satu pementasan bahkan dilakukan di pelataran Candi Penataran, Blitar, di mana relief tentang panji menjadi bukti nyata persebaran kisah ini di Nusantara sampai ke Asia Tenggara.
Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 1993-1998 Wardiman Djojonegoro, pergelaran Festival Panji Internasional dilaksanakan sebagai diseminasi atas penetapan cerita panji sebagai Memory of the World oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada Oktober 2017. Wardiman adalah inisiator yang mengusulkan cerita panji sebagai warisan dunia.
”Panji merupakan alat diplomasi budaya. Dia bisa mempererat hubungan antarnegara,” kata Wardiman di Jakarta.
Dalam berbagai versi penelitian yang berbeda-beda, para peneliti, seperti WH Rassers, Poerbatjaraka, dan CC Berg, pada intinya berkeyakinan bahwa kisah ini kisah asli dari Nusantara. Meski rujukan mereka meletakkan kelahiran panji dalam masa yang berbeda-beda, seperti masa Kerajaan Kadiri, masa Kerajaan Majapahit, dan masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Majapahit, ketiganya meyakini bahwa struktur kisah dan pola persebaran panji berbeda dengan epos besar, seperti Ramayana dan Mahabharata.
Kultur lokal
Dwi Cahyono mengatakan, kisah panji sangat lentur dalam menghadapi kebudayaan lokal. Terbukti selain diserap dalam berbagai bentuk ekspresi seni, panji juga berbaur dengan kisah dan tokoh-tokoh lokal di mana ia bertumbuh. Ia bahkan meyakini bahwa kisah panji tak hanya persoalan kisah cinta antara Raden Inu Kertapati dan Galuh Candrakirana, Panji juga mengandung tuntunan moralitas yang dipedomani oleh para penguasa.
Pada saat Raja Rama I (1782-1809) berkuasa di Thailand lahir karya sastra saduran panji yang berasal dari Jawa. Saduran inilah yang dijadikan acuan untuk pementasan teater tradisional Thailand yang disebut dalang dan inao. Sementara di Kamboja lahir sebutan enynao. Nama-nama ini mengacu pada nama Inu (Kertapati). Dalam kisah ini, kata Dwi, panji tidak hanya berkisah tentang cinta dua anak manusia, tetapi juga mengenai keteguhan cinta kasih kepada seorang ibu, yang diyakini menjadi sumber dari kehidupan.
Terkait soal kehidupan itu, Panji Asmarabangun dan Dewi Sekartaji memiliki varian nama, seperti Joko Seger dan Roro Anteng, di kisaran Pegunungan Tengger, Jatim. Bahkan, kisah Arok-Dedes pun diduga menginduk pada kisah panji. Menurut Dwi, kisah ini bisa diinterpretasikan sebagai kisah tentang kesuburan, yang dalam tinggalan arkeologis ditemukan pada artefak lingga dan yoni. Lingga dan yoni adalah simbolisasi dari kesuburan, yang kemudian menurunkan bangsa manusia dengan peradabannya dari abad ke abad sampai kini.
Kepercayaan ini pulalah yang membuat panji lahir menjadi peradaban berbalut pada ekspresi seni yang spesifik. Di sekitar pegunungan Tengger, termasuk Malang dan Probolinggo, misalnya, kisah Panji diekspresikan dalam bentuk wayang topeng. Sampai kini, topeng yang memiliki karakter kisah-kisah panji di Padepokan Kedungmonggo, peninggalan Mbah Karimun, di Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, menjadi warisan peradaban panji.
Selain itu, tinggalan wayang krucil di Dusun Wiloso, Desa Gondowangi, Kecamatan Wagir, Malang, juga menjadi bukti yang melengkapi kehadiran panji. Wayang krucil kini diwarisi oleh Saniyem (88), berupa sekotak besar wayang berisi 80 wayang kayu peninggalan Mbah Taram. Saniyem mengatakan sebagai keturunan kedelapan, generasi yang turut menyebarkan Islam melalui wayang. Wayang krucil diperkirakan dibuat oleh Raden Pekik, putra Panembahan Kadiri atau keturunan kedelapan Sunan Ampel, pada 1648.
Dalam penelitiannya, Dwi Cahyono melihat Cerita Panji pada awalnya berupa kisah-kisah lisan pada masa Kadiri, lalu pada masa Majapahit, terutama saat pemerintahan Raja Hayam Wuruk, kisah ini dituliskan. ”Kita kemudian tahu kisah itu diinterpretasikan dalam bentuk visual berupa relief dan patung. Terakhir, bentuk visual itu menjadi berbagai seni pertunjukan yang kita kenal sampai kini,” katanya.
Seni pertunjukan dianggap menjadi bentuk paling mutakhir untuk menyampaikan pesan-pesan yang terdapat dalam kisah panji. Kata Dwi, panji itu seperti sendang (mata air) yang tak habis-habisnya digali sebagai sumber nilai kehidupan.
Oleh sebab itulah, Lydia Kieven sampai berkesimpulan bahwa tradisi panji adalah living heritage untuk dipraktikkan, dilestarikan, dan ditransformasikan. Panji, menurut dia, menjadi sumber belajar atau teladan untuk menghargai budaya dan lingkungan modern, memperkuat jati diri, dan bersikap mandiri. Itulah moralitas penting yang bisa kita petik dari keteguhan janji panji sejak masa klasik sampai kehidupan kontemporer saat ini.