Polemik Surat Miskin, Cermin Pendidikan Kehilangan Karakter
Penerimaan Peserta Didik Baru atau PPDB Tahun Ajaran 2018/2019 di tingkat sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan negeri di Jawa Tengah menjadi polemik tajam di masyarakat.
PPDB 2018 mengimplementasikan Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2018, yaitu PPDB menerapkan sistem zona serta mengatur sekolah harus menerima siswa miskin sebesar 20 persen dari jumlah peserta didik baru.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah Gatot Bambang Hastowo, Kamis (12/7/2018), mengemukakan, niat baik roh dari sistem zonasi itu untuk menghilangkan ketimpangan lulusan sekolah. Ada pemerataan siswa sehingga siswa miskin bisa diterima di sekolah negeri, juga pemerataan kualitas pendidikan dan pemerataan mutu lulusan sehingga semua sekolah sama. Tidak ada lagi sekolah favorit ataupun sekolah pinggiran.
Sistem zonasi ke depan meneguhkan pola perekrutan siswa yang lebih transparan, ada pemerataan, serta tidak diskriminatif. Pola lama ialah sekolah tertentu hanya menerima lulusan siswa sekolah menengah pertama (SMP) dengan nilai kumulatif hasil ujian negara minimal 28 atau 30. Sementara sekolah-sekolah lain terpaksa menerima lulusan SMP dengan hasil nilai kumulatif di bawahnya.
Meski sosialisasi pola zonasi itu sudah dilakukan 6-8 bulan lalu, bahkan ada sekolah menengah atas (SMA) yang telah mengumpulkan lebih dari 800 siswa kelas 9 di SMP lingkungan dalam zonasi untuk memperoleh pengarahan lebih awal mengenai penerapan zonasi. Tujuan dari sosialisasi awal ini adalah supaya siswa, juga masyarakat, dapat mulai mengetahui pola perekrutan zonasi sehingga yakin bahwa upaya pemerintah itu bertujuan agar semua siswa memperoleh pendidikan setara, di sekolah mana pun diterima.
Poin penting sistem zonasi perlahan-lahan menghapus dikotomi sekolah favorit dan sekolah nonfavorit di semua tingkatan. Pada sosialisasi itu, menurut Kepala Balai Pengendalian Pendidikan Menengah dan Khusus Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jasman Indratmo, disertakan pula Peraturan Gubernur Jateng (Pergub) Nomor 64 Tahun 2018 tentang PPDB.
Pasal 12 Ayat (2) pergub itu mengatur, seleksi PPDB jenjang SMA dan SMA negeri wajib melaksanakan program ramah sosial, yaitu sekolah wajib menerima dan wajib membebaskan biaya pendidikan bagi peserta didik dari keluarga tidak mampu paling sedikit 20 persen dari jumlah yang diterima sekolah.
Pada praktiknya, Pasal 12 Ayat (2) inilah yang dimanfaatkan orangtua siswa untuk mencari celah pada sistem zonasi. Orangtua jadi keblinger, silau bagaimana mudahnya mendapatkan surat keterangan tidak mampu (SKTM) atau surat miskin yang bisa mereka salah gunakan untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah negeri meski nilai ujian nasional (UN)-nya minim. Terbukti, surat miskin ”aspal” pun bermunculan.
Orangtua jadi keblinger, silau bagaimana mudahnya mendapatkan surat keterangan tidak mampu atau surat miskin yang bisa mereka salah gunakan untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah negeri.
”Ada sekolah di daerah yang kuota siswanya hanya 124 siswa, sedangkan yang mendaftar 400 siswa, ternyata hampir 90 persen siswa pendaftar itu semua pakai SKTM. Ini sangat memprihatinkan, pasalnya tidak ada pemerataan yang sama tiap sekolah. Kalau satu sekolah diisi oleh semua siswa yang mengaku miskin, tentu menutup peluang siswa lain untuk diterima,” tutur Jasman.
Dia mengungkapkan, orangtua mestinya tidak khawatir atas peluang anaknya masuk sekolah negeri. Khusus kuota siswa yang diterima di SMA negeri di 35 kabupaten dan kota di Jateng, sebanyak 133.325 siswa baru. Sementara jumlah lulusan siswa SMP di Jateng hanya 113.092 siswa yang mendaftar, ini artinya masih ada sisa 233 kursi kosong di kuota PPDB di SMA negeri.
Namun, karena banyak orangtua yang keblinger mengurus surat miskin untuk anaknya, hingga H-3 batas akhir pendaftaran, dari jumlah siswa yang mendaftar itu, sebanyak 62.000 siswa menggunakan surat miskin. Setelah melalui proses verifikasi faktual oleh tim verifikasi sekolah dan dinas pendidikan setempat, hanya 26.617 siswa yang menggunakan surat miskin yang akhirnya diterima.
Itu artinya, surat miskin mereka benar-benar asli. Dari jumlah itu, 500 siswa langsung dicoret karena merupakan surat miskin palsu. Namun, jumlah itu terus. Hingga akhir PPDB, total jumlah surat miskin yang digugurkan dan siswa pembawanya didiskualifikasi sebanyak 78.065 dokumen.
Koordinator Posko PPDB Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) Semarang Muhammad Syofii mengatakan, hasil pendataan Pattiro menunjukkan 40 persen siswa yang diterima di sekolah menengah kejuruan (SMK) negeri di Jateng menggunakan surat miskin. Dengan kata lain, 39.425 siswa masuk SMK negeri secara otomatis dari jumlah total kuota siswa SMK negeri di Jateng sebanyak 98.546 kursi siswa baru.
Syofii menilai, besarnya jumlah siswa yang memanfaatkan surat miskin harus dikaji ulang. Pihak sekolah dan dinas pendidikan setempat harus melakukan verifikasi faktual dengan tegas dan tidak main-main. Pasalnya, syarat untuk mendapatkan surat miskin tidaklah mudah.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi siswa dan orangtua untuk memperoleh surat miskin. Syarat-syarat itu antara lain pihak orangtua harus bisa membuktikan penghasilannya sebulan sekitar Rp 600.000, di rumahnya belum ada sambungan aliran listrik PLN, lantai rumahnya masih tanah, serta tidak memiliki alat transportasi motor.
”Dengan syarat yang begitu ketat ini, di Kota Semarang mestinya tidak muncul surat miskin lebih dari 5 persen dari jumlah siswa yang mendaftar. Rata-rata satu sekolah di kota-kota menerima siswa kisaran 200 sampai 300 siswa per sekolah,” ujar Syofii.
Rusaknya karakter
Ketua Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) Semarang Ngargono mengungkapkan, dari hasil penelusuran lembaganya sejak surat miskin jadi polemik, ternyata sumber maraknya surat miskin tersebut adalah sikap permisif pemangku kepentingan di tingkat rukun tetangga (RT), rukun warga (RW), sampai kecamatan.
Hampir semua pejabat, seperti ketua RT, ketua RW, hingga pejabat di tingkat kecamatan, tidak akan menolak sekiranya ada orangtua meminta surat miskin untuk kepentingan pendaftaran anaknya.
”Ditambah dengan sikap tidak jujur, ambisi memasukkan anaknya ke sekolah terbaik ternyata mendorong orangtua menghalalkan cara. Padahal, anak-anak itu mampu dari segi kemampuan ataupun finansial orangtua apabila masuk sekolah negeri biasa atau sekolah swasta,” ujar Ngargono.
Pola perekrutan dengan surat miskin juga memunculkan sikap tidak adil ketika siswa dengan nilai kumulatif UN 32 bisa dikalahkan oleh siswa lain dengan nilai UN hanya 17, misalnya.
”Iya kalau nilai rendah yang diterima itu benar-benar siswa dari keluarga miskin. Bila tidak miskin, akan menimbulkan kecurigaan lain. Seperti kecurigaan, siswa masuk atas panggilan siluman, atas koneksi pejabat penting, ataupun atas rujukan surat miskin palsu,” lanjut Ngargono.
Pola zonasi yang diterapkan pemerintah mengajak masyarakat untuk mengubah cara berpikir dalam memilih atau memasukkan anaknya ke sekolah.
Guru Besar Sosiologi Pendidikan Universitas Negeri Semarang Tri Marhaeni Pudji Astuti mengatakan, pola zonasi yang diterapkan pemerintah mengajak masyarakat untuk mengubah cara berpikir dalam memilih atau memasukkan anaknya ke sekolah. Masyarakat harus mengajari anaknya masuk sekolah yang sesuai atau setara dengan kemampuan anaknya.
Kalau pandai, anak itu tentu berhak masuk sekolah yang kualitas pendidikannya baik. Begitu juga kalau anak itu berbakat mengenai teknik mesin, pemerintah menjamin ada sekolah kejuruan yang andal.
”Tetapi, harus juga diingat, sistem zonasi tidak hanya mendorong perubahan mindset orangtua atau masyarakat. Zonasi itu juga mendorong mindset guru-guru dalam mengajar ataupun pengelola sekolah untuk terus mengikuti perkembangan teknologi yang mengiringi kehidupan siswanya. Percuma kalau masyarakat berubah, tapi guru-gurunya tetap saja pola mengajarnya dengan materi yang terlalu kopi persis di buku,” ujar Tri Marhaeni.
Tri Marheni mencontohkan, siswa kelas 10 hingga 12 kini sudah terbiasa menggunakan telepon genggamnya untuk mendapatkan pengetahuan baru lewat internet. Apabila tidak mampu beradaptasi dengan pola siswanya, guru akan ketinggalan materi ajarnya dengan kemajuan pengetahuan yang diperoleh siswa lewat internet.
Oleh karena itu, pendidikan karakter yang mendorong anak-anak jujur, pandai, juga memiliki keberanian untuk menolak melakukan manipulasi sangat penting. Hal itu diharapkan muncul dari sistem pendidikan yang diterapkan pemerintah seperti tujuan dari pola zonasi ini.
Penilaian untuk mendorong guru juga berubah tentu akan berimplikasi panjang. Tidak seperti disinyalir di masyarakat bahwa guru-guru di sekolah favorit, dengan para siswa yang rata-rata nilai kumulatif UN saat masuk di atas 28, justru malas mengajar dalam durasi panjang. Para guru merasa sumber daya siswa pintar sehingga saat mengajar, mereka cukup mengarahkan siswa menyelesaikan tugas pada halaman sekian. Selanjutnya, guru tinggal menunggu hasilnya.
Pemerintah agar melanjutkan pola zonasi dengan penataan guru.
Seperti dikemukakan Ngargono, sekiranya sekolah itu seperti menghasilkan soto, tentu rasa itu akan nikmat karena sumber dayanya berkualitas, siswa yang diajar merupakan kumpulan anak pintar. Dengan pola zonasi ini, hal itu mengubah komposisi tersebut. Siswa dari keluarga tidak mampu yang bisa juga nilainya terbatas tetap dapat diterima di sekolah favorit sehingga akan menjadi tantangan sendiri bagi guru untuk menjadikan mereka setara dengan anak-anak pintar. Ini dilakukan supaya lulusan sekolah tersebut hampir 100 persen diterima di perguruan tinggi terbaik pula.
Tri Marhaeni juga meminta pemerintah melanjutkan pola zonasi dengan penataan guru. Jangan sampai sekolah yang sudah baik, tetapi jumlah guru tidak tetapnya nol persen, sedangkan sekolah yang sedang berkembang hampir 70 persen gurunya merupakan guru tidak tetap.
Ketika semua sekolah sudah dibenahi sarana dan prasarana, lalu guru-guru juga setara kemampuannya, tentu tujuan pola zonasi sesuai arah keinginan pemerintah, yakni pendidikan yang berkualitas akan tercapai.