JAKARTA, KOMPAS—Hingga saat ini pemerintah belum mengikutsertakan SLB dalam penerapan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Padahal, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam evaluasi pembelajaran dirasa bisa memudahkan siswa berkebutuhan khusus mengerjakan soal ujian.
Hal itu diungkapkan oleh Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMA LB/B Pangudi Luhur Jakarta Barat Sarmaulince Saragih, Minggu (8/7/2018). Menurutnya hingga kini siswa berkebutuhan khusus masih harus menggunakan pensil dan kertas saat mengerjakan soal ujian nasional.
Di SLB/B Pangudi Luhur, terdapat sejumlah siswa memiliki kebutuhan ganda, misalnya anak dengan tuna rungu dan autisme. "Saat mengikuti Ujian Nasional Pensil dan Kertas (UNPK), anak dengan double handicap tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menghitamkan pilihan jawaban. Maka saya kira UNBK akan sangat membantu efisiensi dan kecepatan mengerjakan soal" kata Lince.
Kemudahan seperti itulah yang diharapkan Lince bisa turut dinikmati oleh anak berkebutuhan khusus. Lince menilai, meski berkebutuhan khusus, jika diberi kesempatan yang sama niscaya anak-anak itu akan mampu melakukan hal-hal yang kerap kita anggap mustahil bagi mereka.
Selama ini memang belum pernah ada uji coba menyeluruh yang mengkaji kesiapan anak berkebutuhan khusus untuk mengikuti UNBK. "Memang butuh usaha ekstra, tetapi saya yakin, jika pemerintah mau mencari jalan, pemanfaatan TIK akan sangat membantu anak berkebutuhan khusus," ucap Lince.
Sejumlah siswa SLB/B Pangudi Luhur telah membuktikan mereka mampu menyumbang karya lewat penguasaan teknologi. Sebagian dari mereka mampu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi untuk memperdalam keterampilan multimedia, bahkan salah satunya telah menjadi pengajar TIK di sekolah tersebut.
Berdaya lewat teknologi
Guru keterampilan multimedia SMA LB/B Pangudi Luhur Yohanes Aji Kurniawan menilai penguasaan teknologi yang baik akan membantu anak berkebutuhan khusus untuk mandiri. Keterampilan itu pula yang mengantar Aji sebagai orang dengan tuna rungu untuk dapat mandiri dan berkarya sebagai pengajar tetap di almamaternya.
Di SLB/B Pangudi Luhur, siswa diajari membaca gerak bibir lawan bicara untuk bisa menangkap pesan. Siswa tuna rungu di sekolah itu tidak berkomunikasi dengan bahasa isyarat, melainkan berusaha bicara layaknya orang pada normalnya.
Hal itu memungkin Aji untuk menjadi pengajar dan menularkan ilmunya pada siswa tuna rungu lainnya. "Mengajar siswa tuna rungu itu tidak mudah, harus sabar agar mereka bisa mengerti apa yang saya sampaikan," kata Aji.
Dari sekian banyak kelas keterampilan yang tersedia di sekolah itu, kelas mutimedia merupakan salah satu yang paling diminati siswa. Lewat keterampilan mulitimedia yang didapat, siswa belajar mendesain berbagai produk dua dan tiga dimensi. Salah satu karya yang rutin mereka hasilkan adalah buku tahunan sekolah.
Deteksi sejak dini
Anak berkebutuhan khusus membutuhkan pendampingan intensif sedini mungkin. Deteksi yang terlambat akan memperlama proses mereka mengenal dan merangkai kata.
Khoirul Anam (47) salah satu orang tua siswa baru mengatakan, ia terlambat mengetahui bahwa anaknya mengalami tuna rungu. "Waktu usia Riko dua tahun saya baru tahu kalau anak saya mengalami tuna rungu," kata Khoirul.
Hal yang sama juga dialami Hartanto (36), ia terlambat mengetahui kebutuhan khusus anaknya yang mengalami tuna rungu. "Saya tahunya baru ketika Bintang menginjak usia tiga tahun," ujar Hartanto.
Kini Riko dan Bintang sama-sama menginjak usia enam tahun. Mereka baru akan menapaki jalan panjang pendidikan di SLB/B Pangudi Luhur. Para orang tua mereka punya harapan yang sama agar Riko dan Bintang bisa menikmati fasilitas pendidikan yang sama dengan anak lainnya. (E06)