JAKARTA, KOMPAS - Situs-situs arkeologi merupakan aset budaya yang bisa dimanfaatkan untuk menyejahterakan masyarakat sekitar. Oleh sebab itu, langkah pertama yang perlu dilakukan ialah membuat masyarakat peduli sehingga mau melestarikan situs.
Konsep tersebut merupakan inti dari program Rumah Peradaban yang digagas oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas). "Ada 6.000 situs di seluruh Indonesia, tapi yang sudah dimanfaatkan secara optimal masih sangat sedikit," kata Kepala Puslit Arkenas I Made Geria dalam rapat koordinasi dengan pemerintah daerah untuk program Rumah Peradaban di Jakarta, Senin (2/7/2108).
Menara gading
Geria menjelaskan, selama ini situs arkeologi menjadi menara gading yang jauh dari jangkauan masyarakat. Sosialisasi yang tidak maksimal membuat masyarakat tidak memahami pentingnya keberadaan situs. "Perilaku masyarakat ada yang abai dan ada pula yang mengeksploitasi seperti mengambil artefak dan mencoret-coret situs," ujarnya.
Sering kali, situs berada di tanah milik warga. Pemilik tanah yang tidak mengerti arti situs tersebut menilai keberadaan situs tidak bermanfaat kepada peningkatan kesejahteraan sehingga tidak ada upaya pelestarian.
Sejatinya, penelitian di situs arkeologi harus bermanfaat kepada warga lokal. Apabila penelitian arkeologi terkenal di dunia internasional, tetapi tidak menyentuh warga lokal, berarti penelitian belum mencapai tujuan akhir.
Menurut Geria, apabila warga diajak memahami bahwa situs merupakan kekayaan wilayah, mereka otomatis bisa menghargai dan melestarikan. Ke depannya upaya pemanfaatan sebagai sumber pendidikan dan pariwisata bisa dikembangkan.
Muatan lokal
Program Rumah Peradaban sudah berjalan di 30 situs. Geria menuturkan, Puslit Arkenas bekerja sama dengan Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk membuat buku pengayaan. Buku-buku tersebut disebar ke sekolah-sekolah di sekitar situs untuk diajarkan sebagai muatan lokal.
"Praktik Rumah Peradaban unik untuk tiap-tiap wilayah. Pemda dan sekolah yang merancang metodenya agar sesuai dengan budaya lokal," ujarnya.
Contoh pemerintah daerah yang aktif menjalankan program tersebut adalah provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), terutama untuk situs Goa Harimau di Kabupaten Ogan Komering Ulu, dan Kabupaten Sumba Timur di Nusa Tenggara Timur.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumsel Irene Camelyn Sinaga menjelaskan, siswa-siswa di sekitar Goa Harimau diperkenalkan dengan situs itu melalui presentasi di sekolah. Mereka kemudian berkunjung ke situs dan mendapat penjelasan tentang sejarah, makna budaya, dan potensi pemanfaatan situs tersebut dengan dikemas secara menarik.
Masyarakat sekitar tidak hanya menghargai Goa Harimau karena menjadi tempat wisata, tetapi mengerti makna situs dalam sejarah wilayah mereka. Padahal, situs itu dulu dianggap angker dan dijauhi masyarakat.
"Kami juga bekerja sama dengan berbagai komunitas anak muda seperti komikus dan fotografer untuk datang dan menuliskan pengalaman di Goa Harimau di media sosial," kata Irene.
Bukti persatuan
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud Totok Suprayitno dalam sambutannya menjabarkan bahwa situs arkeologi adalah sumber pembelajaran penting bagi siswa. "Dari sana terlihat keragaman Nusantara yang jika diajarkan dengan baik dapat membantu siswa memahami bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika memang nyata dalam masyarakat Indonesia," ujarnya. (DNE)